Ketidakadaan Yang Selalu Ada

17.12 Add Comment

Beberapa tahun baru saja berlalu tapi dalam fikiranku kau masih yang dulu, tidak pernah ku fikir engkau sekarang hanya berupa bayangan dari ketiadaan hari yg ku jejaki saat ini, bayangan yang selalu hadir berjalan bersama kakiku melangkahi kehidupan dalam ingatan yg berkhayal,  hingga ku coba akhiri fatamorgana yang tidak kusukai ini sesuatu yang bernama melupakan namun selalu aku gagal sebab kau sangat mahir membangun bayangmu didalam otaku.

Masih sering aku mengucapkan kalimat astaghfirullah” ketika dalam kesepian waktu meratapi tawa lepas  dari seseorang yg menggoreskan perasaan cinta, kasih sayang hingga perasaan takut kehilangan, senyuman manis yang selalu mengisi hari dalam iringan belajar disekolah, sedih yang tak mengenal waktu terkadang engkau hadir dari beberapa detik yg trus berjalan diputaran 60detik dimana satu fotomu jauh lebih banyak dalam fikiranku melebihi beberapa foto yg sudah hangus terbakar menu delete.

Ketiadaanmu membuatku mencoba memahami arti sepi yang lebih mendalam yang lebih sopan dari seorang tamu yg datang ke rumah, ia sopan mengetuk rumah yang diawali pintu itu lalu mengetuk fikiranku dan disaat detik yang sama bintang menjelaskan makna hadirnya lalu sepi itu menyodorkan kaset yang didalamnya bernama kenangan dan memutarnya bersama beberapa siswa yang mengenakan baju putih abu.

Dalam jalan yang pernah kulewati semakin menyeret ingatanku pada tempat duduk dibelakang motorku yang pernah menjadi singgahsana tempat dudukmu untuk sampai kerumah dan ketiadaanmu mulai menguras paru paru dalam dadaku yang membuatku sering mengalami sesak.

Makalah Bimbingan Konseling Terapi Realita

23.36 Add Comment

MAKALAH TERAPI REALITA
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
PRAKTIKUM KONSELING INDIVIDUAL


OLEH :
MOHAMAD FURQONI AZIZ (4F)       : 1113500086



PROGDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2014

KATA PENGANTAR
          Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul TERAPI REALITA. Makalah ini di buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “Praktikum Konseling Individual” dengan dosen pengampu Abdul Chamid, S.Pd.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih terutama kepada :
1.  Allah SWT
2.  Kedua Orang Tua yang telah membiayai dalam pembuatan makalah
3.  Abdul Chamid, S.Pd. selaku dosen pengampu
4.  Teman-teman semua
          Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini, oleh karena itu penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah ini di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Tiada manusia yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Terima kasih.



                                                                                                   Tegal, 20 April 2015
                                                                                                                     
                                                                                                               Penulis,

DAFTAR ISI 
KATA PENGANTAR ..........................................................................................  ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................  iii 
BAB  I  PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ....................................................................................  1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................  2
1.3 Tujuan .................................................................................................  2 
BAB  II  PEMBAHASAN
2.1  Pandangan teori realita mengenai konsepsi tentang manusia ................   3
2.2 Pokok-pokok teori konseling realita .....................................................  6
2.3 Ciri-ciri terapi realitas ..........................................................................  7
2.4 Tujuan konseling realita .......................................................................  8
2.5 Fungsi konselor ...................................................................................  9
2.6 Peran konselor dalam konseling terapi realitas .....................................  9
2.7 Pengalaman konseli dalam proses konseling ........................................  10
2.8 Hubungan konselor dengan konseli ......................................................  11
2.9 Proses konseling realita........................................................................  11
2.10 Tahap-tahap konseling realita ..............................................................  13
2.11 Teknik-teknik konseling realitas ..........................................................  16 
BAB  III  PENUTUP
3.1 Simpulan .................................................................................................  20
3.2 Saran .......................................................................................................  20  
DAFTAR PUSTAKA 




BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terapi realitas memiliki perbedaan yang sangat besar dengan sebagian besar pendekatan konseling yang telah dibahas dalam bab sebelumnya. Terapi realitas telah merai popularitas dikalangan konselor sekolah, para guru dan pimpinan sekolah dasar dan sekolah menengah serta pekerja rehabilitas. Terapi realitas menyajikan banyak masalah dasar dalam konseling yang menjadi dasar pertanyaan-pertanyaan seperti : apa kenyataan itu? Haruskah konselor mengajar klieannya? Apa yang harus diajarkannya? Model apa yang harus disediakan oleh konselor? Filsafat siapa yang harus diajarkan? Apa peran nilai-nilai dalam konseling?
Terapi realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang. Konselor berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan konseli dengan cara-cara yang bisa membantu konseli mengadapi kenyataan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain. Inti dari terapi realitas adalah menerimaan tanggung jawab pribadi yang dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan terapi realitas dari kenyakinannya bahwa psikiatrik konvensional sebagaian besar berlandaskan asumsi-asumsi yang keliru. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan prosedur-prosedur yang dirangcang untuk membantu orangorang dalam mencapai suatu “identitas berhasil, dapat diterapkan pada psikoterapi konseli, pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, dan perkembangan masyarakat.
Terapi realitas adalah suatu bentuk modifikasi tinkah laku karena, terutama dalam penerapan-penerapan institusionalnya pada dasarnnya ia merupakan tipe pengondisian peran yang tidak ketat. Salah satu sebab mengapa Glasser bisa meraih popularitasnya adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah konsep modifikasi tingkah laku kedua model yang relatif sederhana dan tidak berbelit-belit.
1.2. Rumusan masalah
Dari latar belakang tersebut didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1 Bagaimana pandangan teori realita mengenai konsepsi tentang manusia?
1.2.2 Apa saja pokok-pokok teori konseling realita?
1.2.3 Apa saja ciri-ciri terapi realitas?
1.2.4 Apa saja tujuan konseling realita?
1.2.5 Apa saja fungsi konselor?
1.2.6 Apa saja peran konselor dalam konseling terapi realitas?
1.2.7 Apa saja pengalaman konseli dalam proses konseling?
1.2.8 Apa hubungan konselor dengan konseli?
1.2.9 Apa saja proses konseling realita?
1.2.10 Apa saja tahap-tahap konseling realita?
1.2.11 Apa saja teknik-teknik konseling realitas?
1.3. Tujuan Dari rumusan masalah tersebut didapatkan tujuan sebagai berikut:
1.3.1 Dapat mengetahui pandangan teori realita mengenai konsepsi tentang manusia
1.3.2 Dapat mengetahui pokok-pokok teori konseling realita.
1.3.3 Dapat mengetahui ciri-ciri terapi realitas.
1.3.4 Dapat mengetahui tujuan konseling realita.
1.3.5 Dapat mengetahui fungsi konselor.
1.3.6 Dapat mengetahui peran konselor dalam konseling terapi realitas.
1.3.7 Dapat mengetahui pengalaman konseli dalam proses konseling.
1.3.8 Dapat mengetahui hubungan konselor dengan konseli.
1.3.9 Dapat mengetahui proses konseling realita.
1.3.10 Dapat mengetahui tahap-tahap konseling realita.
1.3.11 Dapat mengetahui teknik-teknik konseling realitas.   


BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pandangan Teori Realita Mengenai Konsepsi Tentang Manusia
Pandangan Tentang Sifat Dasar Manusia Seperti halnya teori–teori psikodinamik konseling realita memandang bahwa kesulitan atau problema perilaku manusia berakar pada pengalaman pada masa kanak-kanak. Untuk dapat berkembang dengan sehat anak  perlu berada ditengah-tengah orang dewasa yang dapat memberinya kasih sayng secara penuh. Kasih sayang yang memungkinkan anak untuk memeperoleh kebebasan kemampuan, dan kesenangan dalam cara-cara yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, sejak tahun-tahun awal dalam kehidupannya, anak seharusnya memperoleh dukungan untuk membentuk sikap dan keyakinan bahwa ia mampu untuk mengenali dan memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang positif.
Konseling ralita memandang manusia pada dasarnya dapat mengarahkan dirinya sendiri (self-determining). Glasser juga memiliki keyakinan bahwa individu memiliki kemampuan untuk menangani kesulitan-kesulitannya. Seperti dikatakan Glasser “we are ralely the victims of what happened to us in the past”. Manusia yang tidak mau belajaruntuk memenuhi kebutuhan mereka pada tahuntahun awal kehidupan cenderung berpotensi mengalami kesulitan dikemudian hari. Pandangan optimistik Glasser tersebut menegaskan bahwa manusia dapat mengubah perasaan, tindakan dan nasib kehidupannya sendiri. Namun, itu dapat dilakukan hanya jika manusia telah menerima tanggung jawab dan bersedia mengubah identitasnya.
Glasser dan Wubbolding memiliki keyakinan bahwa semua manusia ketika dilahirkan membawa lima kebutuhan dasar atau genetik yang membuat mereka dapat mengembangkan kualitas kepribadian yang berbeda, sebagai berikut:
1. Yakni kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dan kebutuhan untuk berinteraksi atau berhubungan dengan orang lain.
2. Kebutuhan untuk merasa mampu atau berprestasi, yakni kebutuhan untuk merasa berhasil dan kompeten, berharga, dan dapat mengendalikan atau mengkontrol kehidupan sendiri.
3. Kebutuhan untuk mendapatkan kesenangan, yakni kebutuhan untuk bisa menikmati kebutuhan hidup, untuk bisa tertawa dan bermain.
4. Kebutuhan untuk memperoleh kebebasan atau kemandirian, yaitu kebutuhan untuk mampu membuat pilihan, untuk bisa hidup tanpa batasbatas yang berlebihan atau tidak perlu.
5. Kebutuhan untuk hidup, yakni termasuk didalamnya memperoleh kesehatan, makanan, udara, perlindungan, rasa aman dan kenyamanan fisik.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat saling tumpang tindih satu sama lain. Oleh karena itu, memenuhi suatu kebutuhan mungkin dapat memicu atau mempercepat kebutuhan yang lain. Bagaimanapun antara kebutuhan-kebutuhan tersebut mungkin saja terjadi konflik. Contohnya, orang yang bekerja keras untuk mencapai prestasi atau keberhasilan dalam mencapai kemandirian dan kekuasaan, mungkin mengalami kesulitan dalam membentuk hubungan yang menyenangkan dengan orang lain.
Perilaku Bermasalah
Reality therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas. Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”.
Pandangan tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubaha cara hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas yidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri. Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memilkiki tanggung jawab untuk menerima konsekuensikonsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.
Konseling Realita memandang individu dalam prilaku yang dapat diamati tetapi bukan dalam arti paradigma stimulus respon seperti halnya pandangan para konselor prilaku pada umumnya, dan bukan pula dalam arti fenomenologis seperti pandangan konselor humanistik. Konseling realita melihat perilaku melalui standart obyektif yang disebut realita (realiti). Realita ini dapat bersifat praktis (realitas praktis), realita sosial (realitas sosial), dan realita moral (realitas moral). Jadi, para konselor konseling realita memandang individu dalam arti apakah perilakunya sesuai atau tidak sesuai dengan realita prakis, realita sosial, dan realita moral. Lengkapnya, Glasser mendasarkan sistem teorinya pada apa yang ia sebut dengan “3R”. 3R tersebut merupakan akronim dari reality (realita), responsibility (tanggung jawab), right and wrong (benar salah). Namun demikian, Glasser sebenarnya masih menambahkan 2R yang lain, yakni: relatedness (hubungan sosial) dan respect (penghargaan).
2.2. Pokok-pokok Teori Konseling Realita
a. Pendapat tradisi yang beranggapan bahwa seseorangberprilaku tidak bertanggung jawab disebabkan oleh gangguan mental ditolak oleh Glasser. Justru ia berpendapat bahwa orang mengalami gangguan mental karena ia berprilak tidak bertanggungjawab. Terapi realitas menekankan pada masalah moral antara benar dan salah yang harus diperhadapkan kepada konseli sebagai kenyataan atau realitas. Terapi realitas menekankan pertimbangan menyangkut nilai-nilai. Ia menekankan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya.
b. Pengalaman masa lalu diabaikan karena terapi realitas mengarahkan pandangan penilaiannya pada bagaimana perilaku saat ini dapat memenuhi kebutuhan konseli. Dengan kata lain terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang. Meskipun tidak menganggap perasaan dan sikap tidak penting, tetapi terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Terapi realitas adalah proses pengajaran (teaching process) dan bukan proses penyembuhan (healing process). Itu sebabnya terapi realitas sering menggunakan pula pendekatan kognitif dengan maksud agar konseli dapat menyesuaikan diri terhadap realitas yang dihadapinya.
c. Faktor alam bawah alam sadar sebagaimana ditekankan pada psikologianalisis Freud tidak diperhatikan karena Glesser mementingkan ‘apa” daripada “mengapa”-nya.
d. Terapi realitas menolong individu untuk memenuhi, mendefinisikan, dan mengklarifikasi tujuan hidupnya.
e. Terapi realitas menolak alasan tertentu atas perbuatan yang dilakukan. Misalnya, orang yang mencuri tidak boleh beralasan bahwa ia terpaksa atau kepepet, dsb. 
2.3. Ciri-Ciri Terapi Realitas
Sekurang-kurangnya ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut :
1. Terapi realitas Menolak adanya konsep sakit mental tetapi yang ada adalah perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat bagi yang mendapatkan gangguan metal sedangkan kesehatan mental memiliki tingkah laku yang bertanggung jawab. Misalnya siswa yang memiliki hayalan yang belum tentu bisa di capai oleh siswa tersebut.
2. Terapi realitas Berfokus pada perilaku nyata mencapai tujuan yang akan datang penuh optimisme. Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada perilaku yang sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya, sebagai pengalaman yang berharga.
3. Terapi realitas Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang.
4. Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Berfokus pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang membantu masalah-masalah yang dialaminya.
5. Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memanadang konsep tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Iya memandang transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Terapi realitas mengimbau agar para terapis menempuh cara beradanya yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran sebagai ayah atau ibu klien. Transferensi merupakan fenomena dalam psikoanalisis yang ditandai dengan pengalihan perasaan alam bawah sadar dari satu orang ke orang lain. Salah satu definisi transferensi adalah "pengulangan tidak tepat yang terjadi dan memiliki hubungan yang penting dengan masa kecil seseorang." definisi lain adalah "pengalihan perasaan dan keinginan, khususnya yang dipertahankan secara tidak sadar dari masa kanak-kanak menuju objek baru. Misalnya tidak boleh di depan pintu nanti tidak dapat jodoh tapi dalam realitanya kalau kita duduk di depan pintu nanti ada orang yang mau masuk tidak bisa masuk karena dihalangi.
 6. Terapi realitas menekankan asapek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran. Terapi realitas menekankan ketaksadaran berarti mengelak dari pokok masalah yang menyangkut ketidak bertanggung jawabana klien dan memaafkan klien atas tindakannya menghindari kenyataan.
7. Terapi realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak efektif, dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan terapeutik.
Terapi realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser sebagai “kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”. Glasser (1965) menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti dalam terapi realitas. 
2.4. Tujuan Konseling
Realita Tujuan konseling realita dapat dibagi menjadi 2(dua), yaitu:
a. Tujuan umum konseling realita dari sudut pandang konselor menurut Burks (1979) menekankan bahwa konseling realita merupakan bentuk mengajar dan latihan individual secara khusus. Secara luas, konselor membantu konseli dalam mengembangkan sistem atau cara hidup yang kaya akan keberhasilan. Selain itu juga konseling realita bertujuan untuk membantu seseorang untuk mencapai otonomi. Pada dasarnya, otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan internal.
b. Tujuan konseling realitas secara khusus adalah :
1. Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.  
2. Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan pertumbuhannya.
3. Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
4. Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilainilai adanya keinginan individu untuk mengubahnya sendiri.
5. Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.  
2.5. Fungsi Konselor
Fungsi konselor yaitu: melibatkan diri dengan klien untuk mengembangkan hubungan dengan mereka yang akan merupakan landasan kerja dari proses konseling. Konselor berfungsi sebagai guru berlaku aktif dalam sesi konseling dengan cara :
1. Memformulasikan rencana perbuatan yang spesifik. Disini dimaksudkan bahwa konseli yang merencanakan tujuan hidupnya sedangkan konselor yang mengarahkan.
2. Menawarkan pilihan-pilihan perilaku.
3. Mengajarkan teori kontrol. Kontrol ini artinya pengendallian tingkah laku manusia. Dalam hal ini konselor wajib mengajarkan teori kontrol agar konseli bisa memilih pilihan yang ada sesuai dengan kemampuan konseli dan agar terkendali, tidak memilih pilihan yang salah. 
2.6. Peran Konselor dalam Konseling Terapi Realitas
1. Konselor terlibat dengan konseli membawa konseli menghadapi realita. Seorang konselor hendaknya bisa membuat konseli untuk memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan menempuh jalan yang bertanggung jawab.
2. Tidak membuat pertimbangan nilai dan keputusan bagi konseli. Hal ini dilakukukan agar konseli tidak menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki, dan agar ada pembatas peran antara konselor dengan konseli.
3. Mengajarkan konseli membuat rencana yang sesuai dengan kemampuan & ketrampilan yang mereka miliki.
4. Bertindak tegas. Hal ini dilakukan oleh konselor agar konseli bisa menerima kenyataan.
5. Pembimbing
6. Memberi hadiah. Hadiah disini dalam artian memberikan pujian apabila konseli mampu bertindak dengan bertanggung jawab.
7. Pemberi kontrak. Penyelenggaraan kontrak sebagai suatu tipe pemasangan batas, hal ini bisa mencakup laporan dari konseli mengenai keberhasilan maupun kegagalan dalam pekerjaan diluar situasi konseling. 
2.7. Pengalaman Konseli Dalam Proses Konseling
Adapun pengalaman yang dapat diperoleh konseli pada konseling realitas adalah :
1. Konseli memfokusikan diri pada tingkah laku saat ini dengan mengalihkan perasaan dan sikapnya, disini seorang konselor menantang konseli untuk membuat pilihan-pilihan yang sesuai dengan tujuan hidupnya.
2. Konseli menyadari apa yang telah dilakukannya sekarang itulah yang membuatnya menjadi cemas, disini diperlukan kesadaran dari konseli bahwa apa yang dilakukan sekarang itulah yang membuatnya menjadi cemas.
3. Konseli melakukan penilaian atau evaluasi atas apa yang telah dilakukannya selama proses konseling, hal yang ditinjau dalam evaluasi ini adalah adanya perubahan tingkah laku dari konseli.
4. Konseli mengambil keputusan untuk berubah, mengubah tingkah laku yang gagal menjadi berhasil.
5. Konseli membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah lakunya 
6. Konseli membuat komitmen untuk melaksanakan rencana yang telah dibuatnya, komitmen dibuat untuk dijadikan acuan agar apa yang mereka lakukan bisa sesuai dengan rencana.
7. Terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak yang telah dibuat. 
2.8. Hubungan Konselor Dengan Konseli
Sebelum proses konseling yang efektif, keterlibatan antara konselor dan konseli harus berkembang. Adapun prinsip kerangka proses belajar yang terjadi sebagai hasil dari hubungan antara konselor dan konseli.
1. Terapi realitas berlandaskan hubungan atau keterlibatan pribadi antara konselor dan konseli, dengan adanya hubungan antara konselor dan konseli, maka konseli akan merasa diperhatikan oleh konselor, sehingga konseli sanggup untuk mengembangkan sebuah keberhasilan.
2. Perencaan adalah hal yang esensial dalam konseling realitas, sebab konseling tidak terbatas pada diskusi-diskusi abtara konselor dan konseli, namun mereka harus membentuk rencana-rencana, dimana jika rencana tersebut sudah disusun maka harus dilaksanakan. Pelaksaan sebuah rencana merupakan bagian dari tindakan, dimana dalam terapi realitas tindakan merupakan bagian yang esensial. Dalam perencanaan hal yang paling penting adalah membuat konseli mengenali cara-cara yang spesifik untu mewujudkan rencana-rencana yang sudah dibuat.
3. Komitmen adalah kunci utama dalam konseling realitas
4. Konseling realitas tidak menerima dalih 
2.9. Proses Konseling Realita
Pendekatan ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku sekarang dan saat ini. Artinya, konseli di tekankan untuk melihat perilaku yang dapat diamati daripada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian konseli dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam memenuhi kebutuhannya atau tidak. Jika dirasa perilaku-perilaku yang di tampilkan tidak membuat konseli merasa puas, maka konselor mengarahkan konseli untuk melihat peluang-peluang yang dapat dilakukan dengan merencanakan tindakan yang lebih bertanggung jawab. Perilaku yang bertanggung jawab maksudnya adalah perilaku yang sesuai dengan kenyataan yang dihadapi, oleh Glasser disebut sebagai penerimaan terhadap realita. Dengan demikian, dapat membantu konseli mengatasi tekanan-tekanan dan permasalahan yang di alaminya.
Menurut Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke peneriman realitas yang terjadi selama proeses konseling adalah:
1. Konseli dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang dipresepsikan tentang kondisi yang dihadapinya. Di sini konseli terdorong untuk mengenali dan mendifinisikan apa yang merekan inginkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah mengetahui apa yang di inginkan, konseli lalu mengevaluasi apakah yang ia lakukan selama ini memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut.
2. Konseli focus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu. Tahap ini merupakan kesadaran konseli untuk memahami bahwa kondisi yang dialaminya bukanlah hal yang bisa dipungkiri. Kemudian mereka mulai menentukan alternative apa saja yang harus dilakukan. Di sini konseli mengubah perilaku totalnya, tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan dan pikiran.
3. Konseli mau mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi dimana konseli membuat penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya berdasarkan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Apakah yang dilakukan dapat menolong dirinya atau sebaliknya, apakah hal itu bermanfat, sudahkah sesuai dengan aturan, dan apakah realistis atau dapat dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab tanpa penilaian pada diri sendiri, perubahan akan sulit terjadi. Evaluasi ini mencakup seluruh komponen perilaku total.
4. Konseli mulai menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen yerhadap apa yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang ditetapkan harus sesuai dengan kemampuan konseli, bersifat konkrit atau jelas pada bagaimana dari perilakunya yang akan diubah, realistis dan melibatkan perbuatan positif. Rencana itu juga harus dilakukan dengan segera dan berulang-ulang.  
2.10. Tahap-Tahap Konseling Realita
Proses konseling dalam pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis, Thompson,et. al. (2004:115-120) mengemukakan delapan tahapdalam Konseling Realita. 
Tahap 1 : Konselor Menunjukkan Keterlibatan dengan Konseli(Be Friend)
Pada tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan sikap otentik, hangat, dan menaruh perhatian pada hubungan yang sedang di bangun. Konselor harus dapat melibatkan diri kepada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah. Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab konseli akan terbuka dan bersedia menjalani proses konseling jika dia merasa bahwa konselrnya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu, penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan efektif. Menunjukan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukan dengan perilaku attending. Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap konseli), ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa dibuat-buat), duduk dengan sikapterbuka (agak maju kedepan dengan tidak bersandar), poros tubuh agak condong dan diarahkan ke konseli, melakukan respon refleksi, memperhatikan perilaku nonverbal konseli, dan melakukan respon parafase. 
Tahap 2 : Fokus pada Perilaku Sekarang
Setelah konseli dapat melibatkan diri pada konselor, maka konselor menanyakan kepada konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap ini merupakan eksplorasi diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam menghadapi permasalahannya.
Lalu konselor meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukannya dalam menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci, tahap ini meliputi:
1. Eksplorasi “picture album” (keinginan), kebutuhan, dan persepsi
2. Menanyakan keinginan-keinginan konseli
3. Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli
4. Menanyakan apa yang terakhir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain dari dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut 
Tahap 3 : Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
Menanyakan apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan secara spesifik apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita, akar permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang harus diatasi bukan kecemasannya konseli, tetapi ha-hal apa saja yang telah dilakukannya untuk menghadapi ujian. 
Tahap 4 : Konsili Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Memasuki tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salahnya perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Pada tahap ini, respon-respon konselor di antaranya menanyakan apakah yang dilakukan konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.kemudian bertanya kepada konseli apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli saat ini, menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realistis, apakah benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau dapat terjadi/dicapai, bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya, dan menanyakan komitmen konseli untuk mengikuti proses konseli.
Tahap 5 : Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab
Tahap ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah, dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat perencanaan tindakan yang lebih bertangung jawab. Rencana yang disusun sifatnya spesifik dan kongkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar dari permasalahan yang sedang dihadapinya. 
Tahap 6 : Membuat Komitmen
Konselor mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. 
Tahap 7 : Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli
Konseli akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah disepakati bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah direncanakannya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi konselor. Sebaliknya, konselr mengajak konseli untuk melihat kembali rencana tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil ia lakukan. Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan “Mengapa” sebab kecenderungannya konseli akan bersikap defensive dan mencari-cari alasan. 
Tahap 8 : Tindak Lanjut
Merupakan tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah ditetapkan belum tercapai.
2.11. Teknik-teknik Konseling Realitas
Ada beberapa teknik-teknik dalam konseling realitas yaitu diantaranya:
a. Terlibat dalam permainan peran dengan klien Dalam bermain peran dengan klien, dimana konselor berperan sebagai didaktor dan sekaligus sebagai motivator untuk membantu siswa mengentaskan segala permasalahan klien/konseli. Dalam hal ini, konselor harus terlebih dahulu memasuki dunia konseli dan memahami keadaan konseli. Bila konselor menemukan konseli yang belum bisa menerima kenyataan yang ada, konselor hendaknya mengarahkan dan memotivasi konseli tersebut. Contoh : Siswa yang tidak menerima kenyataan, bahwa nilai ulangan dia turun dan bahkan juara yang dimana pada tahun sebelumnya ia mendapat juara, tapi saat ini dia tidak mendapatkan juara. Dan bahkan ia memusuhi temannya yang mengambil kedudukan juaranya dulu. Ini merupakan pola pikir yang tidak realitas dari  siswa ini. Jadi konselor disini memainkan perannya sebagai didaktor dan motivator. Konselor sebagai didaktor yang mengarahkan konseli akan kesalahan-kesalahan dari dalam dirinya. Dalam hal ini, kesalahan konseli tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia tidak mendapatkan juara.  Konselor memberikan pengarahan bahwa “sikap kamu seperti ini salah, kamu tidak seharusnya menyalahkan temanmu yang mengambil kedudukan juaramu. Kesalahan ini terletak dalam diri kamu sendiri. Dan bahkan kamu telah mrugikan orang lain. Coba intropeksi diri kamu, sikap saya apakah sudah pantas seperti. Apakah sikap ini akan mengembalikan kedudukan juara kamu yang dulu”. Sehingga bila siswa sudah mengerti dan sudah mampu berpikir secara realitas. Hal selanjutnya yang dilakukan konselor adalah memotivasi siswa tersebut. Bahwa masih banyak alternative-alternatif lain untuk merubah semua itu. Kamu hendaknya tidak menyalahkan orang lain atas keadaan yang terjadi sekarang. Bagaimana caranya kamu untuk bisa mendorong diri kamu untuk merubah keadaan yang terjadi sekarang sehingga nantinya kamu kembali bisa merebut juara dan meningkatkan nilai ujianmu.
b. Menggunakan humor Disini dengan menggunakan humor mampu menciptakan suasana yang segar dan rileks untuk menciptakan keakraban diantara konselor dan konseli. Konselor dalam melakukan kegiatan konseling bisa menggunakan teknik ini untuk mempermudah jalannya konseling. Kaitannya dengan contoh diatas :  Ketidakrealistisan konseli dalam keadaan yang terjadi akan dapat memberikan dampak negatif bagi dirinya maupun orang lain. Maka untuk mempermudah mengentaskan permasalahan tersebut konselor bisa menggunakan teknik humoris. Dengan menggunakan sikap humoris segala uneg-uneg yang ada dalam diri siswa akan bisa tersampaikan dengan jelas tanpa perlu adanya rasa takut dan malu-malu dalam diri konseli. Contoh : seorang Konselor bertanya kepada konselinya : kenapa kamu bisa tidak mendapatkan juara? Pasti kamu pacaran ya? (dengan berbicara yang santai dan sedikit bercanda)
c. Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun Konfrontasi merupakan salah satu respon konselor yang sangat membantu konseli. Konfrontasi akan membantu konseli untuk menyadari dan menghadapi berbagai pikiran, perasaan dan kenyataan yang terjadi pada dirinya, yang ingin disembunyikan /diingkarinya. Dan menolak dalih apapun dalam hal ini yang dimaksud yaitu menolak segala alasan yang dilontarkan konseli atas kenyataan sekarang, tanpa perlu adanya pembelaan dalam diri individu. Contoh : Siswa yang mencuri uang temannya di kelas akan ditegur oleh guru, wali atau konselor di sekolah. Pastinya dia akan memiliki alasan-alasan tersendiri untuk melakukan pembelaan atas kesalahan dirinya. Contohnya : dia melakukan itu karna kepepet, karna terpaksa. Ini merupakan alasan yang tidak realitas atas keadaan yang terjadi sekarang. Dan konselor disini akan mengonfrontasikan sikap yang salah dan menolak segala alasan yang dipaparkan individu yang mencuri itu.
d. Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan. Dalam hal ini, terapi realitas akan dipusatkan pada upaya konselor menolong individu dalam membuat rencana yang spesifik bagi perilakunya dan membuat sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang dibuatnya. Sehingga nantinya individu dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam dirinya. Contoh : Dalam kaitannya pada contoh diatas :  Konselor disini membantu siswa untuk membuat rencana-rencana yang spesifik bagi perilakunya. Pada contoh tersebut siswa yang belum bis menerima kenyataan bahwa dia tidak mendapatkan juara. Disini konselor bisa menanyakan terlebih dahulu “ apa yang akan kamu lakukan?”. Dengan pertanyaan itu konseli akan menjawabnya dan jawaban itu merupakan bagian dari rencana-rencana konseli dalam mengentaskan masalah yang terjadi. Seperti, faktor-faktor yang menyebabkan nilai ia turun dan tidak mendapatkan juara (cara belajar yang salah akan diperbaiki, masalah dalam belajar agar bisa diselesaikan secepat mungkin dll)
e. Bertindak sebagai model dan guru Disini konselor bertindak sebagai model guru yang bersifat mendidik. Bila ditemukan siswa yang tidak bisa berpikir secara realitas, konselor harus bisa mendidiknya sampai ia dapat berpikir secara realitas. Dan yang paling penting konselor sebagai model harus bisa menampilkan pribadi yang baik, positif dan berguna bagi diri maupun orang lain. Sehingga bila konselor yang tidak bisa menampilkan sosok seperti itu, maka konseli akan mengikuti segala sikap dan tindakan yang ditampilkan konselor. Contoh : Dalam hal efesiensi waktu. Konselor yang datang dan pergi dari sekolah seenaknya, ini merupakan contoh yang tidak baik bagi konseli. Dan tentunya konseli juga akan mengikuti sikap konselor itu.
f. Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi Disini konselor membatasi perannya dalam membantu konseli. Batas mana peran kita sebagai konselor untuk membimbing, batas mana perean kita sebagai motivator dan diktator bagi konseli. Sehingga nantinya kegiatan yang berjalan bisa berlangsung secara efektif dan efesien.
g. Menggunakan terapi “kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis Sarkasme merupakan majas sindiran yang diucapkan secara langsung dan kasar.
Contoh: teknik ini bisa digunakan bagi siswa yang mengalami kesalahan dalam sikap, tindakan dan pola piker.
Seorang siswa yang tidak membuat PR
Konselor  : Apakah kamu sudah membuat PR?
Konseli  : Belum Bu (dengan ekspresi wajah gelisah)
Konselor : Kenapa kamu tidak membuatnya?
Konseli : PR-nya susah Bu!
Konselor : Bodoh sekali kamu! PR semudah itu kamu tidak bisa mengerjakan.
h. Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih efektif.
Disini konselor ikut terlibat dalam upaya membantu konseli untuk ia dapat mencari kehidupannya yang efektif. Contoh : Siswa yang tidak mempunyai sepeda motor untuk dipakai berangkat ke sekolah. Dia terpaksa untuk menumpang dengan teman sebayanya berangkat ke sekolah setiap hari. Akan tetapi dia memiliki perasaan yang tidak enak hati karena seringnya ia menumpang dengan temannya. Disini tugas konselor membantu siswa untuk ia bisa mencapai kehidupan yang lebih efektif. Yaitu dengan cara, konselor memberikan informasi, misalnya dengan kamu mengajukan beasiswa kamu akan bisa mendapatkan bantuan financial dari pemerintah dan kamu akan bisa memiliki sepeda motor meskipun tidak baru. Dan untuk itu kamu berusaha untuk bisa membanggakan orang tuamu dengan belajar yang rajin, sekolah yang rajin. Sehingga kehidupan yang efektif bisa perlahan-lahan kamu rasakan nanti.



BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Terapi realitas tampaknya amat cocok bagi intervensi-intervensi singkat dalam situasi-situasi konseling krisis dab bagi penanganan para remaja dan orangorang dewasa penghuni lembaga-lembaga untuk tingkah laku kriminal. Keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari terapi realitas tampaknya adalah jangka waktu terapinya yang relatif pendek dab berurusan dengan masalahmasalah tingkah laku sadar. Salah satu kekurangan terapi realitas adalah tidak memberikan penerangan atau penekanan yang cukup pada dinamika-dinamika tak sadar dan pada masa lampau individu sebagai salah satu determinan dari tingkah lakunya sekarang. Glasser disatu pihak tampaknya menrima peran masa lampau dan ketidaksadaran sebagai faktor-faktor kausal dari tingkah laku sekarang, di lain pihak dia menolaknilai faktor-faktor tersebut dalam memodifikasi tingkah laku sekarang. Sebagaimana dinyatakan oleh Glasser “ tentunya para orang tua, seperti setiap orang lainnya, memiliki alasan-alasan yang mungkin tidak disadari untuk bertindak dengan cara yang mereka jalankan. 
3.2. Saran
Setelah mempelajari mengenai Terapi Realitas, diharapkan kita yang merupakan calon-calon seorang konselor dapat memiliki wawasan yang luas. Sehingga dalam pelaksanaan bimbingan konseling kita bisa menjalankan tugas sesuai dengan teknik-teknik yang ada. 


DAFTAR PUSTAKA 
Corey, G. Theory and Pratice of Counseling and Psychoterapy (Teori Dan Praktek Konseling Psikoterapi). Terjemahan oleh E. Koeswara. Bandung : Eresco. 1988

Teori Kepribadian Humanistik (ABRAHAM MASLOW)

23.21 1 Comment


MAKALAH TEORI KEPRIBADIAN HUMANISTIK
(ABRAHAM MASLOW)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
TEORI KEPRIBADIAN


OLEH :

MOHAMAD FURQONI AZIZ (4F)       : 1113500086


PROGDI BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2015
KATA PENGANTAR
          Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul PENDEKATAN PSIKOANALISIS SIGMUND FREUD. Makalah ini di buat dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah “TEORI KEPRIBADIAN” dengan dosen pengampu   RAHMAD AGUNG NUGROHO, M.Si.
Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih terutama kepada :
1.  Allah SWT
2.  Kedua Orang Tua yang telah membiayai dalam pembuatan makalah
3.  RAHMAD AGUNG NUGROHO, M.Si selaku dosen pengampu
4.  Teman-teman semua
          Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada makalah ini, oleh karena itu penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah ini di masa yang akan datang.
Semoga makalah ini bermanfaat terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Tiada manusia yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Terima kasih.




                                                                                                   Tegal, 6 Mei 2015
                                                                                                                     
                                                                                                               Penulis,


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
            Abraham Harold Maslow dilahirkan di Broklyn, New York pada tanggal 1 April 1908. Dia dapat di pandang sebagai Bapak dari Psikologi humanistik. Pada awalnya, Maslow yang anak imigran Rusia ini adalah seorang yang behavioris. Karena merasa tidak puas dengan Psikologi behavioristik dan psikianalisis, Watson mencari alternatif psikologi yang fokusnya adalah manusia dengan ciri-ciri eksistensinya.
            Maslow memutuskan untuk belajar psikologi terutama karena pengaruh behaviorisme Watson. Melalui penelitian-penelitiannya di Universitas Wisconsin, dengan menggunakan teori-teori Watson, Maslow menemukan berbagai persamaan antara kera dan manusia.
            Akan tetapi ada suatu peristiwa yang menyebabkan ia meninggalkan behaviorisme. Yaitu kelahiran anaknya yang pertama, “Halilintar yang membereskan segala sesuatu”, begitu dia menggambarkan pengalaman itu. “Saya akan berkata bahwa siapa saja yang mempunyai seorang bayi tidak dapat menjadi seorang behavioris”.[1] Dia terpesona oleh misteri kehidupan dan bukan dengan mengontrolnya sebagaimana dikemukakan oleh behaviorisme.
            Karena itu Maslow kemudian beralih ke psikologi holistik dan humanistik. Gerakan psikologi humanistik mulai di Amerika Serikat tahun 1950 dan terus berkembang. Para tokohnya berpendapat bahwa psikologi terutama psikologi behavioristik mendehumanisasi manusia.[2] Sekalipun psikologi behavioristik menunjukkan keberhasilannya yang cukup spektakuler dalam bidang-bidang tertentu, namun sebenarnya gagal untuk memberikan sumbangan dalam pemahaman manusia dan kondisi eksistensinya.
            Dalam suasana ketidakpuasan terhadap psikologi behavioristik, muncul berbagai macam buku ataupun artikel yang berkisar pada penekanan soal person. Misalnya Maslow dengan bukunya yang berjudul “motivation and personality”, bukunya Allport yang berjudul “Becoming”, yang menekankan pada sifat-sifat yang ada pada manusia. Karena itu para Ahli psikologi humanistik mengarahkan perhatiannya pada “humanisasi” psikologi, yang menekankan pada keunikan manusia.
            Manusia adalah makhluk yang kreatif, yang dikendalikan bukan oleh kekuatan-kekuatan ketidak sadaran “psikoanalisis” melainkan oleh nilai-nilai dan pilihan-pilihannya sendiri.
            Menurut Maslow psikologi harus lebih manusiawi, yaitu lebih memusatkan perhatiannya pada masalah-masalah kemanusiaan. Psikologi harus mempelajari kedalaman sifat manusia, selain mempelajari prilaku yang tampak juga mempelajari prilaku yang tidak tampak, mempelajari ketidak sadaran sekaligus mempelajari kesadaran, instropeksi sebagai suatu metode penelitian yang telah di singkirkan, harus dikembalikan lagi sebagai metode penelitian psikologi. Psikologi harus mempelajari manusia bukan sebagai tanah liat yang pasif, yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar tetapi manusia adalah makhluk yang aktif, menentukan geraknya sendiri, ada kekuatan dari dalam untuk menentukan prilakunya.

B. Rumusan Masalah
Adapun yang akan dirumuskan di dalam makalah ini adalah :
  1. Teori Kepribadian Humanistik (ABRAHAM MASLOW)
  2. Sifat-sifat Pengaktualisasi-Pengaktualisasi Diri

C.    Landasan Makalah
Makalah ini didasarkan dari buku-buku yang mempelajari tentang Teori Kepribadian Humanistik, khususnya menurut Abraham Maslow.




BAB II
PEMBAHASAN

  1. Teori Kepribadian Humanistik (ABRAHAM MASLOW)
1.      Eksistensialisme dan Psikologi Humanistik
Istilah Psikologi humanistik diperkenalkan oleh sekelompok ahli psikologi yang pada awal tahun 1960-an bekerjasama dibawah kepemimpinan Maslow dalam mencari alternatif dari dua teori yang sangat berpengaruh atas pemikiran intelektual dalam psikologi. Kedua teori yang dimaksud adalah psikoanalisa dan behaviorisme. Sekelompok ahli tersebut memiliki pandangan yang berbeda, tetapi mereka berpijak kepada konsepsi fundamental yang sama mengenai manusia yang berakar pada salah satu aliran filsafat modern, yakni Eksistensialisme.
Eksistensialisme dengan sejumlah tokohnya yang mengesankan adalah sebuah aliran filsafat yang mempermasalahkan manusia sebagai individu dan sebagai problema yang unik dengan keberadaannya. Eksistensialisme menolak paham yang menempatkan manusia semata-mata sebagai hasil bawaan ataupun lingkungan. Sebaliknya para filsuf eksistensialis percaya bahwa setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih tindakan, menentukan sendiri nasib atau wujud keberadaannya, serta bertanggung jawab atas pilihan dan keberadaannya itu.
Oleh karena eksistensialisme menekankan pada anggapan bahwa manusia memiliki kebebasan dan bertanggung jawab bagi tindakan-tindakannya, maka eksistensialisme menarik bagi para ahli psikologi humanistik. Karena pengaruh eksistensialisme, psikologi humanistik mengambil model dasar manusia sebagai makhluk yang bebas dan bertanggung jawab.




2.      Ajaran-ajaran Dasar Psikologi Humanistik
a.       Individu sebagai keseluruhan yang Integral
Salah satu aspek yang fundamental dari Psikologi Humanistik adalah ajarannya bahwa manusia atau individu harus dipelajari sebagai keseluruhan yang integral, khas dan terorganisasi. Sesuai dengan teori Maslow dengan prinsip holistiknya, motivasi mempengaruhi individu secara keseluruhan, dan bukan secara bahagian.

b.      Ketidak relevanan Penyelidikan dengan Hewan
Para juru bicara Psikologi Humanistik mengingatkan tentang adanya perbedaan yang mendasar antara tingkah laku manusia dengan tingkah laku hewan bagi mereka, manusia itu lebih dari sekadar hewan. Ini bertentangan dengan behaviorisme yang mengandalkan penyelidikan tingkah laku hewan dalam upaya memahami tingakah laku manusia. Berbeda dengan para behavioris yang menekankan kesinambungan alam manusia dengan dunia hewan, Maslow dan para teoris kepribadian humanistik umumnya memandang manusia yang sebagai makhluk yang berbeda dengan hewan apapun. Maslow menegaskan bahwa penyelidikan dengan hewan tidak relevan bagi upaya memahami tingkah laku manusia karena hal itu mengabaikan ciri-ciri khas manusia seperti adanya gagasan-gagasan, nilai-nilai, rasa malu, cinta, semangat, humor, rasa seni dan sebagainya yang dengan kesemua ciri yang dimilikinya itu manusia bisa menciptakan pengetahuan, puisi, musik, dan pekerjaan-pekerjaan khas manusia lainnya.

c.       Pembawaan Baik Manusia
Teori Freud secara Implisit menganggap bahwa manusia pada dasarnya memiliki karakter jahat. Impuls-impuls manusia, apabila tidak dikendalikan akan menjuruskan manusia kepada pembinasaan sesamanya dan juga penghancuran dirinya sendiri sementara menurut Maslow hanya memiliki sedikit kepercayaan tentang kemuliaan manusia, dan berspekulasi secara pesimis tentang nasib manusia. Sebaliknya, Psikologi humanistik memiliki anggapan bahwa manusia itu pada dasarnya adalah baik, atau tepatnya netral. Menurut perspektif humanistik, kekuatan jahat atau merusak yang ada pada manusia itu adalah hasil dari lingkungan yang buruk dan bukan merupakan bawaan.

d.      Potensi Kreatif Manusia
Pengutamaan kreativitas manusia merupakan salah satu prinsip yang penting dari Psikologi Humanistik. Maslow, dari studinya atas sejumlah orang tertentu menemukan bahwa pada orang-orang yang ditelitinya itu terdapat satu ciri yang umum, yakni kreatif. Dari situ Maslow menyimpulkan bahwa potensi kreatif merupakan potensi yang umum pada manusia.  

e.       Penekanan pada kesehatan Psikologi
Maslow secara konsisten beranggapan bahwa tidak ada satupun pendekatan psikologis yang mempelajari manusia dengan bertumpu pada fungsi-fungsi manusia berikut cara dan tujuan hidupnya yang sehat. Dalam hal ini Maslow terutama mengkritik Freud yang menurutnya terlalu mengutamakan studi atas orang-orang yang tidak sehat. Maslow juga merasa bahwa psikologi terlalu menekankan pada sisi negatif manusia dan mengabaikan kekuatan atau sifat-sifat yang positif dari manusia. Maslow yakin bahwa kita tidak akan bisa memahami gangguan mental sebelum kita memahami kesehatan mental. Karena itu Maslow mendesak perlu adanya studi atas orang-orang yang berjiwa sehat sebagai landasan bagi pengembangan psikologi yang universal.   


3.      Hierarki Kebutuhan Maslow
Hierarki kebutuhan Maslow merupakan salah satu teori motivasi paling terkenal.[3] Dalam bukunya yang berjudul “Motivation and personality (1954)”, Maslow menggolongkan kebutuhan manusia itu pada lima tingkat kebutuhan, yaitu :[4]
a.       Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat fisiologis
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis ( phsysiological needs ) adalah sekumpulan kebutuhan dasar yang paling mendesak pemuasannya karena berkaitan langsung dengan pemeliharaan biologis dan kelangsungan hidup.
Yang paling dasar, paling kuat, dan paling jelas diantara segala kebutuhan manusia adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik, yaitu kebutuhan makan, minum, tempat berteduh, oksigen, dan sebagainya. Maslow berpendapat, keyakinan kaum behavioris bahwa kebutuhan-kebutuhan fisiologis memiliki pengaruh yang besar pada tingkah laku manusia hanya dapat dibenarkan sejauh kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpuaskan. Selanjutnya, jika pada gilirannya kebutuhan-kebutuhan ini telah pula dipuaskan, lagi-lagi muncul kebutuhan-kebutuhan baru (lebih tinggi lagi), dan begitu seterusnya. Menurut Maslow, selama hidupnya, praktis manusia selalu mendambakan sesuatu.

b.      Kebutuhan akan rasa aman (safety needs)
Apabila kebutuhan fisiologis individu telah terpuaskan, maka dalam diri individu akan muncul satu kebutuhan lain sebagai kebutuhan yang dominan dan menuntut pemuasan, yakni kebutuhan akan rasa aman (need for self-security). Yang dimaksud oleh Maslow dengan kebutuhan akan rasa aman ini adalah sesuatu kebutuhan yang mendorong individu untuk memperoleh ketentraman, kepastian, dan keteraturan dari keadaan lingkungannya. Maslow mengemukakan bahwa kebutuhan akan rasa aman ini sangat nyata dan bisa diamati pada bayi dan anak-anak karena ketidakberdayaan mereka.
Pada dasarnya, kebutuhan rasa aman ini mengarah kepada 2 bentuk, yaitu : Kebutuhan keamanan jiwa dan Kebutuhan keamanan harta.
Kebutuhan rasa aman muncul sebagai kebutuhan yang paling penting kalau kebutuhan psikologis telah terpenuhi. Ini membutuhkan kebutuhan perlindungan, keamanan, hukum, kebebasan dari rasa takut dan cemas. Karena adanya kebutuhan inilah maka manusia menciptakan peraturan, undang-undang, mengembangkan kepercayaan dan sebagainya.

c.       Kebutuhan cinta memiliki-dimiliki
Kebutuhan akan cinta dan rasa memiliki (need for love and belongingness) ini adalah suatu kebutuhan yang mendorong individu untuk mengadakan hubungan afektif atau ikatan emosional dengan individu lain, baik dengan sesama jenis maupun dengan yang berlainan jenis, di lingkungan keluarga ataupun di lingkungan kelompok di masyarakat. Bagi individu-individu, keanggotaan dalam kelompok sering menjadi tujuan yang dominan, dan mereka bisa menderita kesepian, terasing dan tak berdaya apabila keluarga, pasangan hidup, atau teman-teman meninggalkannya.  
Kebutuhan untuk memiliki dan mencintai, muncul ketika kebutuhan sebelumnya telah dipenuhi secara rutin. Orang butuh dicintai dan pada gilirannya butuh menyatakan cintanya. Cinta disini berarti rasa sayang dan rasa terikat antara orang satu dan lainnya, lebih-lebih dalam keluarga sendiri. Diluar keluarga, misalnya teman sekerja, teman sekelas, dan lain-lain. Seseorang ingin agar dirinya disetujui dan diterima.

d.      Kebutuhan penghargaan
Pemenuhan kebutuhan penghargaan menjurus pada kepercayaan terhadap diri sendiri dan perasaan diri berharga. Kebutuhan akan sering kali diliputi frustasi dan konflik pribadi karena yang diinginkan orang bukan saja perhatian dan pengakuan dari kelompoknya, melainkan juga kehormatan dan status yang membutuhkan standar sosial, moral dan agama. Seseorang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri serta lebih mampu dan selanjutnya lebih produktif.

e.       Kebutuhan aktualisasi diri
Kebutuhan akan aktualisasi diri atau mengungkapkan diri merupakan kebutuhan manusia yang paling tinggi dalam teori Maslow. Kebutuhan ini akan muncul apabila kebutuhan-kebutuhan dibawahnya sudah terpuaskan dengan baik. Maslow menandai kebutuhan akan aktualisasi diri sebagai hasrat individu untuk menjadi seseorang yang sesuai dengan keinginan dan potensi yang dimilikinya.

Tabel Meta kebutuhan dari Maslow[5]
  1. kebenaran
  2. kebaikan
  3. keindahan/ kecantikan
  4. keseluruhan (kesatuan) / integrasi
  5. dikhotomi – transendensi
  6. berkehidupan
  7. keunikan
  8. kesempurnaan
  9. keniscayaan
  10. penyelesaian
  11. keadilan
  12. keteraturan
  13. kesederhanaan
  14. kekayaan
  15. tanpa susah payah
  16. bermain
  17. mencukupi diri sendiri

  1. Sifat-sifat Pengaktualisasi-Pengaktualisasi Diri
Sifat umum orang-orang yang mengaktualisasikan diri, menurut defenisi mereka telah cukup memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang lebih rendah secara teratur. Selain sifat umum, Maslow juga membicarakan sejumlah sifat khusus yang menggambarkan pengaktualisasi-pengaktualisasi diri.
1.      Mengamati Realitas secara efisien
Barang kali ciri yang paling menonjol yang terdapat pada orang-orang yang aktualisasi diri itu adalah kemampuannya untuk mengamati realitas dengan cermat dan efisien-efisien, melihat realitas apa adanya tanpa dicampuri oleh keinginan-keinginan atau harapan-harapannya.[6] Karena memiliki kemampuan mengamati secara efisien, maka orang-orang yang aktualisasi diri bisa menemukan kebohongan, kepalsuan, dan kecurangan pada diri orang lain dengan mudah.

2.      Penerimaan atas diri sendiri, orang lain, dan kodrat
Orang-orang yang self-actualized menaruh hormat kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain, serta mampu menerima kodrat dengan segala kekurangan dan kelemahannya secara tawakkal. Selain itu mereka juga bebas dari perasaan berdosa yang berlebihan, perasaan malu yang tak beralasan, dan dari perasaan cemas yang melemahkan.

3.      Spontan sederhana dan wajar
Tingkah laku orang yang self-actualized adalah spontan, sederhana, tidak dibuat-buat atau wajar, dan tidak terikat. Spontanitas, kesederhanaan, dan kewajaran tingkah lakunya itu bersumber dari dalam pribadinya, dan bukan sesuatu yang hanya nampak di permukaan.

4.      Fokus pada masalah
Orang-orang yang mengaktualisasikan diri yang dipelajari Maslow, melibatkan diri pada pekerjaan. Tanpa pengecualian, mereka memiliki suatu perasaan akan tugas yang menyerap mereka dan mereka mengabdikan kebanyakan energi mereka kepadanya. Ini tidak berarti bahwa mereka egosentris, melainkan lebih berarti bahwa mereka berorientasi pada masalah melampaui kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Orang-orang yang self-actualized juga memperhatikan masalah-masalah filsafah dan etika secara mendalam.[7] Perhatian-perhatiannya terhadap masalah-masalah filsafah dan etika ini menjadikannya hidup dalam kerangka acuan yang seluas-luasnya, kurang dirisaukan oleh hal-hal yang remeh dan tak berarti.

5.      Pemisahan diri dan kebutuhan privasi
Kebutuhan privasi pada orang-orang yang self-actualized lebih besar daripada kebutuhan privasi kebanyakan orang. Dalam pergaulan sosial mereka sering di anggap memisahkan diri, hati-hati, sombong, dan dingin. Ini disebabkan orang-orang yang self-actualized tidak membutuhkan orang lain dalam kacamata persahabatan biasa, dan mereka sepenuhnya percaya atas potensi-potensi dan otonomi yang mereka miliki.

6.      Berfungsi secara otonom
Erat hubungannya dengan kebutuhan akan privasi dan independensi ialah preverensi dan kemampuan pengaktualisasi-pengaktualisasi diri untuk berfungsi secara otonom terhadap lingkungan sosial dan fisik. Karena mereka tidak lagi didorong oleh motif-motif kekurangan, maka mereka tidak tergantung pada dunia yang nyata untuk kepuasan mereka karena pemuasan dari motif-motif pertumbuhan datang dari dalam. Perkembangan mereka tergantung pada potensi-potensi dan sumber-sumber dari dalam diri mereka sendiri.

7.      Kesegaran dan Apresiasi
Maslow menemukan bahwa para subjeknya menunjukkan kesanggupan untuk menghargai bahkan terhadap hal-hal yang biasa sekalipun. Menurut Maslow, mereka menghargai hal-hal yang pokok dalam kehidupan dengan rasa kagum, gembira dan bahkan heran, meski bagi orang lain hal-hal tersebut membosankan bagi orang-orang yang self-actualized kehidupan yang rutin akan tetap merupakan fenomena baru yang mereka hadapi dengan “keharuan”, kesegaran, dan apresiasi.

8.      Pengalaman puncak atau Pengalaman mistik
Maslow mengamati bahwa orang-orang yang self-actualized umumnya memiliki apa yang ia sebut pengalaman puncak atau pengalaman mistik. Pengalaman puncak menunjuk kepada momen-momen dari perasaan yang mendalam dan meningginya tegangan seperti yang dihasilkan oleh relaksasi dan orgasme seksual. Menurut Maslow, pengalaman puncak ini diperoleh subjek dari kreativitas, pemahaman, penemuan dan penyatuan diri dengan alam.

9.      Minat sosial
Meskipun orang-orang yang self-actualized itu kadang-kadang merasa terganggu, sedih dan marah oleh cacat atau kekurangan umat manusia, mereka mengalami ikatan perasaan yang mendalam dengan sesamanya. Konsekuensinya, mereka memiliki hasrat yang tulus untuk membantu memperbaiki sesamanya. Bagi orang-orang yang self-actualized, bagaimanapun cacat atau bodohnya, manusia adalah sesama yang selalu mengundang simpati dan persaudaraan.

10.  Hubungan Antarpribadi
Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri mampu mengadakan hubungan yang lebih kuat dengan orang-orang lain daripada orang-orang yang memiliki kesehatan jiwa yang biasa. Mereka mampu memiliki cinta yang lebih besar dan persahabatan yang lebih dalam, dan identifikasi yang lebih sempurna dengan individu-individu lain. Akan tetapi hubungan antar pribadi mereka, walaupun lebih kuat, namun jumlahnya lebih sedikit daripada hubungan antarpribadi dari orang-orang yang tidak mengaktualisasikan diri.

11.  Berkarakter demokratis
Maslow mengatakan bahwa orang-orang yang self-actualized memiliki karakter yang demokratis dalam pengertiannya yang terbaik. Karena mereka bebas dari prasangka, maka mereka cenderung menaruh hormat kepada semua orang. Lebih dari itu mereka bersedia untuk belajar dari siapa saja yang bisa mengajar mereka tanpa memandang derajat, pendidikan, usia, ras, ataupun keyakinan-keyakinan politik.

12.  Perbedaan antara sarana dan tujuan, antara baik dan buruk
Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri membedakan dengan jelas antara sarana dan tujuan. Bagi mereka, tujuan atau cita-cita jauh lebih penting dari pada sarana untuk mencapainya. Akan tetapi, hal ini lebih sulit karena kegiatan-kegiatan dan pengalaman-pengalaman tertentu yang merupakan sarana bagi orang-orang yang kurang sehat kerap kali dianggap oleh pengaktualisasi-pengaktualisasi diri sebagai tujuan dalam dirinya sendiri. Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri juga sanggup membedakan antara baik dan buruk, benar dan salah.

13.  Rasa humor yang filosofis
Humor pengaktualisasi-pengaktualisasi diri bersifat filosofis, humor yang menertawakan manusia pada umumnya, tetapi bukan kepada seorang individu yang khusus. Humor ini kerap kali bersifat instruktif, yang dipakai langsung kepada hal yang dituju dan juga menimbulkan tertawa. Itu adalah semacam humor yang bijaksana yang mengakibatkan suatu senyuman dan anggukan tanda mengerti daripada gelak tertawa yang keras.

14.  Kreativitas
Kreativitas merupakan suatu sifat yang akan diharapkan seseorang dari pengaktualisasi-pengaktualisasi diri. Mereka adalah asli, inventif dan inovatif, meskipun tidak selalu dalam pengertian menghasilkan sesuatu karya seni. Kreativitas lebih merupakan suatu sikap, suatu ungkapan kesehatan psikologis dan lebih mengenai cara bagaimana kita mengamati dan bereaksi terhadap dunia dan bukan mengenai hasil-hasil yang sudah selesai dari suatu karya seni. Jadi, orang-orang dalam pekerjaan apa sja dapat memperlihatkan kreativitas.
Bagi Maslow bukanlah suatu kejutan apabila ia menemukan bahwa orang-orang yang dipelajarinya ini yang ia sebut sebagai orang-orang yang self-actualized, memiliki ciri kreatif. Maslow mengartikan kreativitas pada orang-orang yang self-actualized sebagai suatu bentuk tindakan yang asli, naif, dan spontan sebagaimana yang dijumpai pada anak-anak yang masih polos dan jujur.[8]

15.  Resistensi terhadap Inkulturasi
Pengaktualisasi-pengaktualisasi diri dapat berdiri sendiri dan otonom, mampu melawan dengan baik pengaruh-pengaruh sosial, untuk berfikir atau bertindak menurut cara-cara tertentu. Mereka mempertahankan otonomi batin, tidak terpengaruh oleh kebudayaan mereka, dibimbing oleh diri mereka bukan oleh orang-orang lain.
Akan tetapi mereka tidak terus menentang kebudayaan. Mereka tidak sengaja melanggar aturan-aturan sosial untuk memperhatikan independensi hanya apabila timbul suatu soal yang sangat penting bagi pribadi (biasanya suatu masalah moral atau etis), mereka akan terus terang menentang aturan-aturan dan norma-norma masyarakat.



BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
            Abraham Harold Maslow adalah seorang filsuf dari NewYork, ia seorang filsuf yang mencetus Psikologi Humanistik. Dia dapat juga dijuluki sebagai behavioris. Karena tidak puas dengan Psikologi behavioristik dan psikoanalisis sehingga ia mencari alternatif psikologi yang fokusnya adalah manusia dengan ciri-ciri eksistensinya.
            Beberapa teori yang diteliti secara alternatif seperti :
1. Psikologi Humanistik
            Yaitu mengobjek manusia sebagai salah satu aliran filsafat modern yang berakar, yakni eksistensisme.
2. Sifat-sifat aktualisasi diri
            Yaitu dimana manusia mempunyai dorongan untuk lebih berkembang. Seperti mengamati, penerimaan diri sendiri, spontan sederhana dan wajar, fokus pada masalah pemisahan diri dan kebutuhan privasi, berfungsi secara otonom, kesegaran dan apresiasi, pengalaman, minat sosial, hubungan antar pribadi, berkarakter demokratis, perbedaan antara baik dan buruk, rasa humor yang filosofis, kreativitas, resistensi terhadap inkulturasi.
            Dari kesimpulan di atas, kita bisa menelaah lebih terperinci tentang bagasi yang dicetuskan oleh Bapak Psikologi kita yaitu Abraham Harold Maslow, yang mengarahkan arti, fungsi, jabatan manusia dalam kehidupan yang selalu ingin berkembang.

B. Saran
Setelah melalui studi pustaka dan diskusi kelompok selesailah makalah ini. Sepenuhnya kami sadar akan banyaknya kekurangan di beberapa titik. Banyak penafsiran-penafsiran serta pendapat yang berbeda dan itu semua tidak lepas dari sifat fitrah dari penulis sebagai manusia yang memiliki banyak keterbatasan. Jadi maklumlah kiranya, jika terdapat berbagai pendapat yang penulis simpulkan. Oleh semua itu, jika sampai terdapat beberapa perbedaan pendapat, tentunya bisa di pelajari. Maka, besar harapan kami adanya respon dari pembaca terhadap makalah ini.
Lepas dari itu semua kami berharap makalah ini dapat memberikan pengetahuan baru bagi siapapun pembacanya. Selanjutnya kami ingin berterima kasih kepada dosen pembimbing dan rekan-rekan yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah sederhana ini. Syukron. . .  . . . .     

DAFTAR PUSTAKA

E. Koswara, Teori-Teori Kepribadian, ed. II, Bandung : Eresco, 1991.
Sarwono, Sarlito W., Berkenalan Dengan Aliran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 2000.
Schultz, Duane, Psikologi Pertumbuhan Model-Model Kepribadian Sehat, New York : Kanisius, 1977.
Sobur, Alex, Psikologi Umum, Bandung : CV. Pustaka Setia, 2003.
Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : Andi, 2004.