MAKALAH
TERAPI REALITA
DISUSUN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
PRAKTIKUM
KONSELING INDIVIDUAL
OLEH
:
MOHAMAD FURQONI AZIZ (4F) : 1113500086
PROGDI
BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PANCASAKTI TEGAL
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat
Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul TERAPI REALITA. Makalah ini di buat dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah “Praktikum Konseling Individual” dengan dosen
pengampu Abdul Chamid, S.Pd.
Pada
kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih terutama
kepada :
1. Allah SWT
2. Kedua Orang Tua yang telah membiayai dalam
pembuatan makalah
3. Abdul Chamid, S.Pd. selaku dosen pengampu
4. Teman-teman semua
Penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan pada makalah ini, oleh karena itu penulis mengaharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki makalah ini di masa yang akan
datang.
Semoga
makalah ini bermanfaat terutama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Tiada
manusia yang sempurna, kesempurnaan hanya milik Allah SWT.
Terima
kasih.
Tegal,
20 April 2015
Penulis,
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR .......................................................................................... ii
DAFTAR
ISI
........................................................................................................ iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah................................................................................ 2
1.3
Tujuan ................................................................................................. 2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pandangan teori realita mengenai konsepsi
tentang manusia ................ 3
2.2
Pokok-pokok teori konseling realita ..................................................... 6
2.3 Ciri-ciri
terapi realitas .......................................................................... 7
2.4
Tujuan konseling realita ....................................................................... 8
2.5
Fungsi konselor ................................................................................... 9
2.6
Peran konselor dalam konseling terapi realitas
..................................... 9
2.7
Pengalaman konseli dalam proses konseling ........................................ 10
2.8
Hubungan konselor dengan konseli ...................................................... 11
2.9
Proses konseling realita........................................................................ 11
2.10
Tahap-tahap konseling realita .............................................................. 13
2.11
Teknik-teknik konseling realitas
.......................................................... 16
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
................................................................................................. 20
3.2
Saran
....................................................................................................... 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Terapi
realitas memiliki perbedaan yang sangat besar dengan sebagian besar pendekatan
konseling yang telah dibahas dalam bab sebelumnya. Terapi realitas telah merai
popularitas dikalangan konselor sekolah, para guru dan pimpinan sekolah dasar
dan sekolah menengah serta pekerja rehabilitas. Terapi realitas menyajikan
banyak masalah dasar dalam konseling yang menjadi dasar pertanyaan-pertanyaan
seperti : apa kenyataan itu? Haruskah konselor mengajar klieannya? Apa yang
harus diajarkannya? Model apa yang harus disediakan oleh konselor? Filsafat
siapa yang harus diajarkan? Apa peran nilai-nilai dalam konseling?
Terapi
realitas adalah suatu sistem yang difokuskan pada tingkah laku sekarang.
Konselor berfungsi sebagai guru dan model serta mengonfrontasikan konseli
dengan cara-cara yang bisa membantu konseli mengadapi kenyataan dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar tanpa merugikan dirinya sendiri ataupun orang lain.
Inti dari terapi realitas adalah menerimaan tanggung jawab pribadi yang
dipersamakan dengan kesehatan mental. Glasser mengembangkan terapi realitas
dari kenyakinannya bahwa psikiatrik konvensional sebagaian besar berlandaskan
asumsi-asumsi yang keliru. Terapi realitas yang menguraikan prinsip-prinsip dan
prosedur-prosedur yang dirangcang untuk membantu orangorang dalam mencapai
suatu “identitas berhasil, dapat diterapkan pada psikoterapi konseli,
pengajaran, kerja kelompok, konseling perkawinan, pengelolaan lembaga, dan
perkembangan masyarakat.
Terapi
realitas adalah suatu bentuk modifikasi tinkah laku karena, terutama dalam
penerapan-penerapan institusionalnya pada dasarnnya ia merupakan tipe
pengondisian peran yang tidak ketat. Salah satu sebab mengapa Glasser bisa
meraih popularitasnya adalah keberhasilannya dalam menerjemahkan sejumlah
konsep modifikasi tingkah laku kedua model yang relatif sederhana dan tidak berbelit-belit.
1.2. Rumusan
masalah
Dari
latar belakang tersebut didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1.2.1
Bagaimana pandangan teori realita mengenai konsepsi tentang manusia?
1.2.2
Apa saja pokok-pokok teori konseling realita?
1.2.3
Apa saja ciri-ciri terapi realitas?
1.2.4
Apa saja tujuan konseling realita?
1.2.5
Apa saja fungsi konselor?
1.2.6
Apa saja peran konselor dalam konseling terapi realitas?
1.2.7
Apa saja pengalaman konseli dalam proses konseling?
1.2.8
Apa hubungan konselor dengan konseli?
1.2.9
Apa saja proses konseling realita?
1.2.10
Apa saja tahap-tahap konseling realita?
1.2.11
Apa saja teknik-teknik konseling realitas?
1.3. Tujuan Dari rumusan masalah
tersebut didapatkan tujuan sebagai berikut:
1.3.1
Dapat mengetahui pandangan teori realita mengenai konsepsi tentang manusia
1.3.2
Dapat mengetahui pokok-pokok teori konseling realita.
1.3.3
Dapat mengetahui ciri-ciri terapi realitas.
1.3.4
Dapat mengetahui tujuan konseling realita.
1.3.5 Dapat
mengetahui fungsi konselor.
1.3.6
Dapat mengetahui peran konselor dalam konseling terapi realitas.
1.3.7
Dapat mengetahui pengalaman konseli dalam proses konseling.
1.3.8
Dapat mengetahui hubungan konselor dengan konseli.
1.3.9
Dapat mengetahui proses konseling realita.
1.3.10
Dapat mengetahui tahap-tahap konseling realita.
1.3.11
Dapat mengetahui teknik-teknik konseling realitas.
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pandangan Teori Realita
Mengenai Konsepsi Tentang Manusia
Pandangan
Tentang Sifat Dasar Manusia Seperti halnya teori–teori psikodinamik konseling
realita memandang bahwa kesulitan atau problema perilaku manusia berakar pada
pengalaman pada masa kanak-kanak. Untuk dapat berkembang dengan sehat anak perlu berada ditengah-tengah orang dewasa
yang dapat memberinya kasih sayng secara penuh. Kasih sayang yang memungkinkan
anak untuk memeperoleh kebebasan kemampuan, dan kesenangan dalam cara-cara yang
bertanggung jawab. Oleh karena itu, sejak tahun-tahun awal dalam kehidupannya,
anak seharusnya memperoleh dukungan untuk membentuk sikap dan keyakinan bahwa
ia mampu untuk mengenali dan memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang
positif.
Konseling
ralita memandang manusia pada dasarnya dapat mengarahkan dirinya sendiri
(self-determining). Glasser juga memiliki keyakinan bahwa individu memiliki
kemampuan untuk menangani kesulitan-kesulitannya. Seperti dikatakan Glasser “we
are ralely the victims of what happened to us in the past”. Manusia yang tidak
mau belajaruntuk memenuhi kebutuhan mereka pada tahuntahun awal kehidupan
cenderung berpotensi mengalami kesulitan dikemudian hari. Pandangan optimistik
Glasser tersebut menegaskan bahwa manusia dapat mengubah perasaan, tindakan dan
nasib kehidupannya sendiri. Namun, itu dapat dilakukan hanya jika manusia telah
menerima tanggung jawab dan bersedia mengubah identitasnya.
Glasser
dan Wubbolding memiliki keyakinan bahwa semua manusia ketika dilahirkan membawa
lima kebutuhan dasar atau genetik yang membuat mereka dapat mengembangkan
kualitas kepribadian yang berbeda, sebagai berikut:
1. Yakni
kebutuhan untuk mencintai dan dicintai, dan kebutuhan untuk berinteraksi atau
berhubungan dengan orang lain.
2.
Kebutuhan untuk merasa mampu atau berprestasi, yakni kebutuhan untuk merasa
berhasil dan kompeten, berharga, dan dapat mengendalikan atau mengkontrol
kehidupan sendiri.
3.
Kebutuhan untuk mendapatkan kesenangan, yakni kebutuhan untuk bisa menikmati
kebutuhan hidup, untuk bisa tertawa dan bermain.
4.
Kebutuhan untuk memperoleh kebebasan atau kemandirian, yaitu kebutuhan untuk
mampu membuat pilihan, untuk bisa hidup tanpa batasbatas yang berlebihan atau
tidak perlu.
5.
Kebutuhan untuk hidup, yakni termasuk didalamnya memperoleh kesehatan, makanan,
udara, perlindungan, rasa aman dan kenyamanan fisik.
Kebutuhan-kebutuhan
tersebut dapat saling tumpang tindih satu sama lain. Oleh karena itu, memenuhi
suatu kebutuhan mungkin dapat memicu atau mempercepat kebutuhan yang lain.
Bagaimanapun antara kebutuhan-kebutuhan tersebut mungkin saja terjadi konflik.
Contohnya, orang yang bekerja keras untuk mencapai prestasi atau keberhasilan
dalam mencapai kemandirian dan kekuasaan, mungkin mengalami kesulitan dalam
membentuk hubungan yang menyenangkan dengan orang lain.
Perilaku
Bermasalah
Reality
therapy pada dasarnya tidak mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai
perilaku yang abnormal. Konsep perilaku menurut konseling realitas lebih
dihubungkan dengan berperilaku yang tepat atau berperilaku yang tidak tepat.
Menurut Glasser, bentuk dari perilaku yang tidak tepat tersebut disebabkan
karena ketidak mampuannya dalam memuaskan kebutuhannya, akibatnya kehilangan
”sentuhan” dengan realitas objektif, dia tidak dapat melihat sesuatu sesuai
dengan realitasnya, tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya,
tidak dapat melakukan atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas.
Meskipun konseling realitas tidak menghubungkan perilaku manusia dengan gejala
abnormalitas, perilaku bermasalah dapat disepadankan dengan istilah ”identitas
kegagalan”. Identitas kegagalan ditandai dengan keterasingan, penolakan diri
dan irrasionalitas, perilakunya kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung
jawab, kurang percaya diri dan menolak kenyataan.
Menurut
Glasser (1965, hlm.9), basis dari terapi realitas adalah membantu para klien
dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup
“kebutuhan untuk mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk merasakan bahwa
kita berguna baik bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”.
Pandangan
tentang sifat manusia mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan”
mendorong kita untuk berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan.
Penderitaan pribadi bisa diubah hanya dengan perubahan identitas. Pandangan
terapi realitas menyatakan bahwa, karena individu-individu bisa mengubaha cara
hidup, perasaan, dan tingkah lakunya, maka merekapun bisa mengubah
identitasnya. Perubahan identitas tergantung pada perubahan tingkah laku.
Maka
jelaslah bahwa terapi realitas yidak berpijak pada filsafat deterministik
tentang manusia, tetapi dibangun diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang
menentukan dirinya sendiri. Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang
memilkiki tanggung jawab untuk menerima konsekuensikonsekuensi dari tingkah
lakunya sendiri. Tampaknya, orang menjadi apa yang ditetapkannya.
Konseling
Realita memandang individu dalam prilaku yang dapat diamati tetapi bukan dalam
arti paradigma stimulus respon seperti halnya pandangan para konselor prilaku
pada umumnya, dan bukan pula dalam arti fenomenologis seperti pandangan
konselor humanistik. Konseling realita melihat perilaku melalui standart
obyektif yang disebut realita (realiti). Realita ini dapat bersifat praktis
(realitas praktis), realita sosial (realitas sosial), dan realita moral
(realitas moral). Jadi, para konselor konseling realita memandang individu
dalam arti apakah perilakunya sesuai atau tidak sesuai dengan realita prakis,
realita sosial, dan realita moral. Lengkapnya, Glasser mendasarkan sistem
teorinya pada apa yang ia sebut dengan “3R”. 3R tersebut merupakan akronim dari
reality (realita), responsibility (tanggung jawab), right and wrong (benar
salah). Namun demikian, Glasser sebenarnya masih menambahkan 2R yang lain,
yakni: relatedness (hubungan sosial) dan respect (penghargaan).
2.2. Pokok-pokok Teori Konseling
Realita
a.
Pendapat tradisi yang beranggapan bahwa seseorangberprilaku tidak bertanggung
jawab disebabkan oleh gangguan mental ditolak oleh Glasser. Justru ia
berpendapat bahwa orang mengalami gangguan mental karena ia berprilak tidak
bertanggungjawab. Terapi realitas menekankan pada masalah moral antara benar
dan salah yang harus diperhadapkan kepada konseli sebagai kenyataan atau
realitas. Terapi realitas menekankan pertimbangan menyangkut nilai-nilai. Ia
menekankan bahwa perubahan mustahil terjadi tanpa melihat pada tingkah laku dan
membuat beberapa ketentuan mengenai sifat-sifat konstruktif dan destruktifnya.
b.
Pengalaman masa lalu diabaikan karena terapi realitas mengarahkan pandangan
penilaiannya pada bagaimana perilaku saat ini dapat memenuhi kebutuhan konseli.
Dengan kata lain terapi realitas berfokus pada tingkah laku sekarang. Meskipun
tidak menganggap perasaan dan sikap tidak penting, tetapi terapi realitas
menekankan kesadaran atas tingkah laku sekarang. Terapi realitas adalah proses
pengajaran (teaching process) dan bukan proses penyembuhan (healing process).
Itu sebabnya terapi realitas sering menggunakan pula pendekatan kognitif dengan
maksud agar konseli dapat menyesuaikan diri terhadap realitas yang dihadapinya.
c.
Faktor alam bawah alam sadar sebagaimana ditekankan pada psikologianalisis
Freud tidak diperhatikan karena Glesser mementingkan ‘apa” daripada
“mengapa”-nya.
d.
Terapi realitas menolong individu untuk memenuhi, mendefinisikan, dan
mengklarifikasi tujuan hidupnya.
e.
Terapi realitas menolak alasan tertentu atas perbuatan yang dilakukan.
Misalnya, orang yang mencuri tidak boleh beralasan bahwa ia terpaksa atau
kepepet, dsb.
2.3. Ciri-Ciri Terapi Realitas
Sekurang-kurangnya
ada delapan ciri yang menentukan terapi realitas sebagai berikut :
1.
Terapi realitas Menolak adanya konsep sakit mental tetapi yang ada adalah
perilaku tidak bertanggungjawab tetapi masih dalam taraf mental yang sehat bagi
yang mendapatkan gangguan metal sedangkan kesehatan mental memiliki tingkah
laku yang bertanggung jawab. Misalnya siswa yang memiliki hayalan yang belum
tentu bisa di capai oleh siswa tersebut.
2.
Terapi realitas Berfokus pada perilaku nyata mencapai tujuan yang akan datang
penuh optimisme. Berorientasi pada keadaan yang akan datang dengan fokus pada
perilaku yang sekarang yang mungkin diubah, diperbaiki, dianalisis dan
ditafsirkan. Perilaku masa lampau tidak bisa diubah tetapi diterima apa adanya,
sebagai pengalaman yang berharga.
3.
Terapi realitas Terapi realitas berfokus pada saat sekarang, bukan kepada masa
lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah tetap dan tidak bisa diubah,
maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan masa yang akan datang.
4.
Terapi realitas menekankan pertimbangan-pertimbangan nilai. Berfokus pada peran
klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri dalam menentukan apa yang
membantu masalah-masalah yang dialaminya.
5.
Terapi realitas tidak menekankan transferensi. Ia tidak memanadang konsep
tradisional tentang transferensi sebagai hal yang penting. Iya memandang
transferensi sebagai suatu cara bagi terapis untuk tetap bersembunyi sebagai
pribadi. Terapi realitas mengimbau agar para terapis menempuh cara beradanya
yang sejati, yakni bahwa mereka menjadi diri sendiri, tidak memainkan peran
sebagai ayah atau ibu klien. Transferensi merupakan fenomena dalam
psikoanalisis yang ditandai dengan pengalihan perasaan alam bawah sadar dari
satu orang ke orang lain. Salah satu definisi transferensi adalah
"pengulangan tidak tepat yang terjadi dan memiliki hubungan yang penting
dengan masa kecil seseorang." definisi lain adalah "pengalihan
perasaan dan keinginan, khususnya yang dipertahankan secara tidak sadar dari
masa kanak-kanak menuju objek baru. Misalnya tidak boleh di depan pintu nanti
tidak dapat jodoh tapi dalam realitanya kalau kita duduk di depan pintu nanti
ada orang yang mau masuk tidak bisa masuk karena dihalangi.
6. Terapi realitas menekankan asapek-aspek
kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran. Terapi realitas menekankan
ketaksadaran berarti mengelak dari pokok masalah yang menyangkut ketidak
bertanggung jawabana klien dan memaafkan klien atas tindakannya menghindari
kenyataan.
7.
Terapi realitas menghapus hukuman. Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman
guna mengubah tingkah laku tidak efektif, dan bahwa hukuman untuk kegagalan
melaksanakan rencana-rencana mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada
klien dan perusakan hubungan terapeutik.
Terapi
realitas menekankan tanggung jawab, yang oleh Glasser sebagai “kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak
mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”.
Glasser (1965) menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti
dalam terapi realitas.
2.4. Tujuan Konseling
Realita
Tujuan konseling realita dapat dibagi menjadi 2(dua), yaitu:
a.
Tujuan umum konseling realita dari sudut pandang konselor menurut Burks (1979)
menekankan bahwa konseling realita merupakan bentuk mengajar dan latihan
individual secara khusus. Secara luas, konselor membantu konseli dalam
mengembangkan sistem atau cara hidup yang kaya akan keberhasilan. Selain itu
juga konseling realita bertujuan untuk membantu seseorang untuk mencapai
otonomi. Pada dasarnya, otonomi adalah kematangan yang diperlukan bagi
kemampuan seseorang untuk mengganti dukungan lingkungan dengan dukungan
internal.
b.
Tujuan konseling realitas secara khusus adalah :
1.
Menolong individu agar mampu mengurus diri sendiri, supaya dapat menentukan dan
melaksanakan perilaku dalam bentuk nyata.
2.
Mendorong konseli agar berani bertanggung jawab serta memikul segala resiko
yang ada, sesuai dengan kemampuan dan keinginannya dalam perkembangan dan
pertumbuhannya.
3.
Mengembangkan rencana-rencana nyata dan realistik dalam mencapai tujuan yang
telah ditetapkan.
4.
Perilaku yang sukses dapat dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang
sukses, yang dicapai dengan menanamkan nilainilai adanya keinginan individu
untuk mengubahnya sendiri.
5.
Terapi ditekankan pada disiplin dan tanggung jawab atas kesadaran sendiri.
2.5. Fungsi Konselor
Fungsi
konselor yaitu: melibatkan diri dengan klien untuk mengembangkan hubungan
dengan mereka yang akan merupakan landasan kerja dari proses konseling.
Konselor berfungsi sebagai guru berlaku aktif dalam sesi konseling dengan cara
:
1.
Memformulasikan rencana perbuatan yang spesifik. Disini dimaksudkan bahwa
konseli yang merencanakan tujuan hidupnya sedangkan konselor yang mengarahkan.
2.
Menawarkan pilihan-pilihan perilaku.
3.
Mengajarkan teori kontrol. Kontrol ini artinya pengendallian tingkah laku
manusia. Dalam hal ini konselor wajib mengajarkan teori kontrol agar konseli
bisa memilih pilihan yang ada sesuai dengan kemampuan konseli dan agar
terkendali, tidak memilih pilihan yang salah.
2.6. Peran Konselor dalam
Konseling Terapi Realitas
1.
Konselor terlibat dengan konseli membawa konseli menghadapi realita. Seorang
konselor hendaknya bisa membuat konseli untuk memutuskan apakah mereka akan
atau tidak akan menempuh jalan yang bertanggung jawab.
2. Tidak
membuat pertimbangan nilai dan keputusan bagi konseli. Hal ini dilakukukan agar
konseli tidak menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki, dan agar ada
pembatas peran antara konselor dengan konseli.
3.
Mengajarkan konseli membuat rencana yang sesuai dengan kemampuan & ketrampilan
yang mereka miliki.
4.
Bertindak tegas. Hal ini dilakukan oleh konselor agar konseli bisa menerima
kenyataan.
5.
Pembimbing
6.
Memberi hadiah. Hadiah disini dalam artian memberikan pujian apabila konseli
mampu bertindak dengan bertanggung jawab.
7. Pemberi
kontrak. Penyelenggaraan kontrak sebagai suatu tipe pemasangan batas, hal ini
bisa mencakup laporan dari konseli mengenai keberhasilan maupun kegagalan dalam
pekerjaan diluar situasi konseling.
2.7. Pengalaman Konseli Dalam
Proses Konseling
Adapun
pengalaman yang dapat diperoleh konseli pada konseling realitas adalah :
1.
Konseli memfokusikan diri pada tingkah laku saat ini dengan mengalihkan
perasaan dan sikapnya, disini seorang konselor menantang konseli untuk membuat
pilihan-pilihan yang sesuai dengan tujuan hidupnya.
2.
Konseli menyadari apa yang telah dilakukannya sekarang itulah yang membuatnya
menjadi cemas, disini diperlukan kesadaran dari konseli bahwa apa yang
dilakukan sekarang itulah yang membuatnya menjadi cemas.
3.
Konseli melakukan penilaian atau evaluasi atas apa yang telah dilakukannya
selama proses konseling, hal yang ditinjau dalam evaluasi ini adalah adanya
perubahan tingkah laku dari konseli.
4.
Konseli mengambil keputusan untuk berubah, mengubah tingkah laku yang gagal
menjadi berhasil.
5.
Konseli membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah
lakunya
6.
Konseli membuat komitmen untuk melaksanakan rencana yang telah dibuatnya,
komitmen dibuat untuk dijadikan acuan agar apa yang mereka lakukan bisa sesuai
dengan rencana.
7.
Terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak yang telah dibuat.
2.8. Hubungan Konselor Dengan
Konseli
Sebelum
proses konseling yang efektif, keterlibatan antara konselor dan konseli harus
berkembang. Adapun prinsip kerangka proses belajar yang terjadi sebagai hasil
dari hubungan antara konselor dan konseli.
1.
Terapi realitas berlandaskan hubungan atau keterlibatan pribadi antara konselor
dan konseli, dengan adanya hubungan antara konselor dan konseli, maka konseli
akan merasa diperhatikan oleh konselor, sehingga konseli sanggup untuk mengembangkan
sebuah keberhasilan.
2.
Perencaan adalah hal yang esensial dalam konseling realitas, sebab konseling
tidak terbatas pada diskusi-diskusi abtara konselor dan konseli, namun mereka
harus membentuk rencana-rencana, dimana jika rencana tersebut sudah disusun
maka harus dilaksanakan. Pelaksaan sebuah rencana merupakan bagian dari
tindakan, dimana dalam terapi realitas tindakan merupakan bagian yang esensial.
Dalam perencanaan hal yang paling penting adalah membuat konseli mengenali
cara-cara yang spesifik untu mewujudkan rencana-rencana yang sudah dibuat.
3.
Komitmen adalah kunci utama dalam konseling realitas
4.
Konseling realitas tidak menerima dalih
2.9. Proses Konseling Realita
Pendekatan
ini melihat konseling sebagai proses rasional yang menekankan pada perilaku
sekarang dan saat ini. Artinya, konseli di tekankan untuk melihat perilaku yang
dapat diamati daripada motif-motif bawah sadarnya. Dengan demikian konseli
dapat mengevaluasi apakah perilakunya tersebut cukup efektif dalam memenuhi
kebutuhannya atau tidak. Jika dirasa perilaku-perilaku yang di tampilkan tidak
membuat konseli merasa puas, maka konselor mengarahkan konseli untuk melihat
peluang-peluang yang dapat dilakukan dengan merencanakan tindakan yang lebih
bertanggung jawab. Perilaku yang bertanggung jawab maksudnya adalah perilaku
yang sesuai dengan kenyataan yang dihadapi, oleh Glasser disebut sebagai
penerimaan terhadap realita. Dengan demikian, dapat membantu konseli mengatasi
tekanan-tekanan dan permasalahan yang di alaminya.
Menurut
Glasser, hal-hal yang membawa perubahan sikap dari penolakan ke peneriman
realitas yang terjadi selama proeses konseling adalah:
1.
Konseli dapat mengeksplorasi keinginan, kebutuhan, dan apa yang dipresepsikan
tentang kondisi yang dihadapinya. Di sini konseli terdorong untuk mengenali dan
mendifinisikan apa yang merekan inginkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah
mengetahui apa yang di inginkan, konseli lalu mengevaluasi apakah yang ia
lakukan selama ini memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut.
2.
Konseli focus pada perilaku sekarang tanpa terpaku pada permasalahan masa lalu.
Tahap ini merupakan kesadaran konseli untuk memahami bahwa kondisi yang
dialaminya bukanlah hal yang bisa dipungkiri. Kemudian mereka mulai menentukan
alternative apa saja yang harus dilakukan. Di sini konseli mengubah perilaku
totalnya, tidak hanya sikap dan perasaan, namun yang diutamakan adalah tindakan
dan pikiran.
3.
Konseli mau mengevaluasi perilakunya, merupakan kondisi dimana konseli membuat
penilaian tentang apa yang telah ia lakukan terhadap dirinya berdasarkan sistem
nilai yang berlaku di masyarakat. Apakah yang dilakukan dapat menolong dirinya
atau sebaliknya, apakah hal itu bermanfat, sudahkah sesuai dengan aturan, dan
apakah realistis atau dapat dicapai. Mereka menilai kualitas perilakunya, sebab
tanpa penilaian pada diri sendiri, perubahan akan sulit terjadi. Evaluasi ini
mencakup seluruh komponen perilaku total.
4.
Konseli mulai menetapkan perubahan yang dikehendakinya dan komitmen yerhadap
apa yang telah direncanakan. Rencana-rencana yang ditetapkan harus sesuai
dengan kemampuan konseli, bersifat konkrit atau jelas pada bagaimana dari
perilakunya yang akan diubah, realistis dan melibatkan perbuatan positif.
Rencana itu juga harus dilakukan dengan segera dan berulang-ulang.
2.10. Tahap-Tahap Konseling
Realita
Proses
konseling dalam pendekatan realitas berpedoman pada dua unsur utama, yaitu
penciptaan kondisi lingkungan yang kondusif dan beberapa prosedur yang menjadi
pedoman untuk mendorong terjadinya perubahan pada konseli. Secara praktis,
Thompson,et. al. (2004:115-120) mengemukakan delapan tahapdalam Konseling
Realita.
Tahap 1
: Konselor Menunjukkan Keterlibatan dengan Konseli(Be Friend)
Pada
tahap ini, konselor mengawali pertemuan dengan sikap otentik, hangat, dan
menaruh perhatian pada hubungan yang sedang di bangun. Konselor harus dapat
melibatkan diri kepada konseli dengan memperlihatkan sikap hangat dan ramah.
Hubungan yang terbangun antara konselor dan konseli sangat penting, sebab
konseli akan terbuka dan bersedia menjalani proses konseling jika dia merasa
bahwa konselrnya terlibat, bersahabat, dan dapat dipercaya. Oleh karena itu,
penerimaan yang positif adalah sangat esensial agar proses konseling berjalan
efektif. Menunjukan keterlibatan dengan konseli dapat ditunjukan dengan
perilaku attending. Perilaku ini tampak dalam kontak mata (menatap konseli),
ekspresi wajah (menunjukkan minatnya tanpa dibuat-buat), duduk dengan
sikapterbuka (agak maju kedepan dengan tidak bersandar), poros tubuh agak
condong dan diarahkan ke konseli, melakukan respon refleksi, memperhatikan
perilaku nonverbal konseli, dan melakukan respon parafase.
Tahap 2
: Fokus pada Perilaku Sekarang
Setelah
konseli dapat melibatkan diri pada konselor, maka konselor menanyakan kepada
konseli apa yang akan dilakukannya sekarang. Tahap ini merupakan eksplorasi
diri bagi konseli. Konseli mengungkapkan ketidaknyamanan yang ia rasakan dalam
menghadapi permasalahannya.
Lalu konselor
meminta konseli mendeskripsikan hal-hal apa saja yang telah dilakukannya dalam
menghadapi kondisi tersebut. Secara rinci, tahap ini meliputi:
1.
Eksplorasi “picture album” (keinginan), kebutuhan, dan persepsi
2.
Menanyakan keinginan-keinginan konseli
3.
Menanyakan apa yang benar-benar diinginkan konseli
4.
Menanyakan apa yang terakhir oleh konseli tentang yang diinginkan orang lain
dari dirinya dan menanyakan bagaimana konseli melihat hal tersebut
Tahap 3
: Mengeksplorasi Total Behavior Konseli
Menanyakan
apa yang dilakukan konseli (doing), yaitu: konselor menanyakan secara spesifik
apa saja yang dilakukan konseli; cara pandang dalam Konseling Realita, akar
permasalahan konseli bersumber pada perilakunya (doing), bukan pada
perasaannya. Misal, konseli mengungkapkan setiap kali menghadapi ujian ia
mengalami kecemasan yang luar biasa. Dalam pandangan Konseling Realita, yang
harus diatasi bukan kecemasannya konseli, tetapi ha-hal apa saja yang telah
dilakukannya untuk menghadapi ujian.
Tahap 4
: Konsili Menilai Diri Sendiri atau Melakukan Evaluasi
Memasuki
tahap keempat, konselor menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya
itu didasari oleh keyakinan bahwa hal itu baik baginya. Fungsi konselor tidak
untuk menilai benar atau salahnya perilaku konseli, tetapi membimbing konseli
untuk menilai perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk
mengevaluasi, apakah ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.
Pada
tahap ini, respon-respon konselor di antaranya menanyakan apakah yang dilakukan
konseli dapat membantunya keluar dari permasalahan atau sebaliknya. Konselor
menanyakan kepada konseli apakah pilihan perilakunya itu didasari oleh
keyakinan bahwa hal tersebut baik baginya. Fungsi konselor tidak untuk menilai
benar atau salah perilaku konseli, tetapi membimbing konseli untuk menilai
perilakunya saat ini. Beri kesempatan kepada konseli untuk mengevaluasi, apakah
ia cukup terbantu dengan pilihannya tersebut.kemudian bertanya kepada konseli
apakah pilihan perilakunya dapat memenuhi apa yang menjadi kebutuhan konseli
saat ini, menanyakan apakah konseli akan tetap pada pilihannya, apakah hal
tersebut merupakan perilaku yang dapat diterima, apakah realistis, apakah
benar-benar dapat mengatasi masalahnya, apakah keinginan konseli realistis atau
dapat terjadi/dicapai, bagaimana konseli memandang pilihan perilakunya, dan
menanyakan komitmen konseli untuk mengikuti proses konseli.
Tahap 5
: Merencanakan Tindakan yang Bertanggungjawab
Tahap
ketika konseli mulai menyadari bahwa perilakunya tidak menyelesaikan masalah,
dan tidak cukup menolong keadaan dirinya, dilanjutkan dengan membuat
perencanaan tindakan yang lebih bertangung jawab. Rencana yang disusun sifatnya
spesifik dan kongkret. Hal-hal apa yang akan dilakukan konseli untuk keluar
dari permasalahan yang sedang dihadapinya.
Tahap 6
: Membuat Komitmen
Konselor
mendorong konseli untuk merealisasikan rencana yang telah disusunnya bersama
konselor sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan.
Tahap 7
: Tidak Menerima Permintaan Maaf atau Alasan Konseli
Konseli
akan bertemu kembali dengan konselor pada batas waktu yang telah disepakati
bersama. Pada tahap ini konselor menanyakan perkembangan perubahan perilaku
konseli. Apabila konseli tidak atau belum berhasil melakukan apa yang telah
direncanakannya, permintaan maaf konseli atas kegagalannya tidak untuk dipenuhi
konselor. Sebaliknya, konselr mengajak konseli untuk melihat kembali rencana
tersebut dan mengevaluasinya mengapa konseli tidak berhasil. Konselor
selanjutnya membantu konseli merencanakan kembali hal-hal yang belum berhasil
ia lakukan. Pada tahap ini sebaiknya konselor menghindari pertanyaan “Mengapa”
sebab kecenderungannya konseli akan bersikap defensive dan mencari-cari
alasan.
Tahap 8
: Tindak Lanjut
Merupakan
tahap terakhir dalam konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi perkembangan
yang dicapai, konseling dapat berakhir atau dilanjutkan jika tujuan yang telah
ditetapkan belum tercapai.
2.11. Teknik-teknik Konseling
Realitas
Ada
beberapa teknik-teknik dalam konseling realitas yaitu diantaranya:
a.
Terlibat dalam permainan peran dengan klien Dalam bermain peran dengan klien,
dimana konselor berperan sebagai didaktor dan sekaligus sebagai motivator untuk
membantu siswa mengentaskan segala permasalahan klien/konseli. Dalam hal ini,
konselor harus terlebih dahulu memasuki dunia konseli dan memahami keadaan
konseli. Bila konselor menemukan konseli yang belum bisa menerima kenyataan
yang ada, konselor hendaknya mengarahkan dan memotivasi konseli tersebut.
Contoh : Siswa yang tidak menerima kenyataan, bahwa nilai ulangan dia turun dan
bahkan juara yang dimana pada tahun sebelumnya ia mendapat juara, tapi saat ini
dia tidak mendapatkan juara. Dan bahkan ia memusuhi temannya yang mengambil
kedudukan juaranya dulu. Ini merupakan pola pikir yang tidak realitas dari siswa ini. Jadi konselor disini memainkan
perannya sebagai didaktor dan motivator. Konselor sebagai didaktor yang
mengarahkan konseli akan kesalahan-kesalahan dari dalam dirinya. Dalam hal ini,
kesalahan konseli tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia tidak mendapatkan
juara. Konselor memberikan pengarahan
bahwa “sikap kamu seperti ini salah, kamu tidak seharusnya menyalahkan temanmu
yang mengambil kedudukan juaramu. Kesalahan ini terletak dalam diri kamu
sendiri. Dan bahkan kamu telah mrugikan orang lain. Coba intropeksi diri kamu,
sikap saya apakah sudah pantas seperti. Apakah sikap ini akan mengembalikan
kedudukan juara kamu yang dulu”. Sehingga bila siswa sudah mengerti dan sudah
mampu berpikir secara realitas. Hal selanjutnya yang dilakukan konselor adalah
memotivasi siswa tersebut. Bahwa masih banyak alternative-alternatif lain untuk
merubah semua itu. Kamu hendaknya tidak menyalahkan orang lain atas keadaan
yang terjadi sekarang. Bagaimana caranya kamu untuk bisa mendorong diri kamu
untuk merubah keadaan yang terjadi sekarang sehingga nantinya kamu kembali bisa
merebut juara dan meningkatkan nilai ujianmu.
b.
Menggunakan humor Disini dengan menggunakan humor mampu menciptakan suasana
yang segar dan rileks untuk menciptakan keakraban diantara konselor dan
konseli. Konselor dalam melakukan kegiatan konseling bisa menggunakan teknik
ini untuk mempermudah jalannya konseling. Kaitannya dengan contoh diatas : Ketidakrealistisan konseli dalam keadaan yang
terjadi akan dapat memberikan dampak negatif bagi dirinya maupun orang lain.
Maka untuk mempermudah mengentaskan permasalahan tersebut konselor bisa
menggunakan teknik humoris. Dengan menggunakan sikap humoris segala uneg-uneg
yang ada dalam diri siswa akan bisa tersampaikan dengan jelas tanpa perlu adanya
rasa takut dan malu-malu dalam diri konseli. Contoh : seorang Konselor bertanya
kepada konselinya : kenapa kamu bisa tidak mendapatkan juara? Pasti kamu
pacaran ya? (dengan berbicara yang santai dan sedikit bercanda)
c.
Mengonfrontasikan klien dan menolak dalih apapun Konfrontasi merupakan salah
satu respon konselor yang sangat membantu konseli. Konfrontasi akan membantu
konseli untuk menyadari dan menghadapi berbagai pikiran, perasaan dan kenyataan
yang terjadi pada dirinya, yang ingin disembunyikan /diingkarinya. Dan menolak
dalih apapun dalam hal ini yang dimaksud yaitu menolak segala alasan yang
dilontarkan konseli atas kenyataan sekarang, tanpa perlu adanya pembelaan dalam
diri individu. Contoh : Siswa yang mencuri uang temannya di kelas akan ditegur oleh
guru, wali atau konselor di sekolah. Pastinya dia akan memiliki alasan-alasan
tersendiri untuk melakukan pembelaan atas kesalahan dirinya. Contohnya : dia
melakukan itu karna kepepet, karna terpaksa. Ini merupakan alasan yang tidak
realitas atas keadaan yang terjadi sekarang. Dan konselor disini akan
mengonfrontasikan sikap yang salah dan menolak segala alasan yang dipaparkan
individu yang mencuri itu.
d.
Membantu klien dalam merumuskan rencana-rencana yang spesifik bagi tindakan.
Dalam hal ini, terapi realitas akan dipusatkan pada upaya konselor menolong
individu dalam membuat rencana yang spesifik bagi perilakunya dan membuat
sebuah komitmen untuk menjalankan rencana-rencana yang dibuatnya. Sehingga
nantinya individu dapat memahami dan menerima keterbatasan dan kemampuan dalam
dirinya. Contoh : Dalam kaitannya pada contoh diatas : Konselor disini membantu siswa untuk membuat
rencana-rencana yang spesifik bagi perilakunya. Pada contoh tersebut siswa yang
belum bis menerima kenyataan bahwa dia tidak mendapatkan juara. Disini konselor
bisa menanyakan terlebih dahulu “ apa yang akan kamu lakukan?”. Dengan
pertanyaan itu konseli akan menjawabnya dan jawaban itu merupakan bagian dari
rencana-rencana konseli dalam mengentaskan masalah yang terjadi. Seperti, faktor-faktor
yang menyebabkan nilai ia turun dan tidak mendapatkan juara (cara belajar yang
salah akan diperbaiki, masalah dalam belajar agar bisa diselesaikan secepat
mungkin dll)
e.
Bertindak sebagai model dan guru Disini konselor bertindak sebagai model guru
yang bersifat mendidik. Bila ditemukan siswa yang tidak bisa berpikir secara
realitas, konselor harus bisa mendidiknya sampai ia dapat berpikir secara
realitas. Dan yang paling penting konselor sebagai model harus bisa menampilkan
pribadi yang baik, positif dan berguna bagi diri maupun orang lain. Sehingga
bila konselor yang tidak bisa menampilkan sosok seperti itu, maka konseli akan
mengikuti segala sikap dan tindakan yang ditampilkan konselor. Contoh : Dalam
hal efesiensi waktu. Konselor yang datang dan pergi dari sekolah seenaknya, ini
merupakan contoh yang tidak baik bagi konseli. Dan tentunya konseli juga akan
mengikuti sikap konselor itu.
f.
Memasang batas-batas dan menyusun situasi terapi Disini konselor membatasi
perannya dalam membantu konseli. Batas mana peran kita sebagai konselor untuk
membimbing, batas mana perean kita sebagai motivator dan diktator bagi konseli.
Sehingga nantinya kegiatan yang berjalan bisa berlangsung secara efektif dan
efesien.
g.
Menggunakan terapi “kejutan verbal” atau sarkasme yang layak untuk
mengonfrontasikan klien dengan tingkah lakunya yang tidak realistis Sarkasme
merupakan majas sindiran yang diucapkan secara langsung dan kasar.
Contoh:
teknik ini bisa digunakan bagi siswa yang mengalami kesalahan dalam sikap, tindakan
dan pola piker.
Seorang
siswa yang tidak membuat PR
Konselor : Apakah kamu sudah membuat PR?
Konseli : Belum Bu (dengan ekspresi wajah gelisah)
Konselor
: Kenapa kamu tidak membuatnya?
Konseli
: PR-nya susah Bu!
Konselor
: Bodoh sekali kamu! PR semudah itu kamu tidak bisa mengerjakan.
h.
Melibatkan diri dengan klien dalam upayanya mencari kehidupan yang lebih
efektif.
Disini
konselor ikut terlibat dalam upaya membantu konseli untuk ia dapat mencari
kehidupannya yang efektif. Contoh : Siswa yang tidak mempunyai sepeda motor
untuk dipakai berangkat ke sekolah. Dia terpaksa untuk menumpang dengan teman
sebayanya berangkat ke sekolah setiap hari. Akan tetapi dia memiliki perasaan
yang tidak enak hati karena seringnya ia menumpang dengan temannya. Disini
tugas konselor membantu siswa untuk ia bisa mencapai kehidupan yang lebih
efektif. Yaitu dengan cara, konselor memberikan informasi, misalnya dengan kamu
mengajukan beasiswa kamu akan bisa mendapatkan bantuan financial dari
pemerintah dan kamu akan bisa memiliki sepeda motor meskipun tidak baru. Dan
untuk itu kamu berusaha untuk bisa membanggakan orang tuamu dengan belajar yang
rajin, sekolah yang rajin. Sehingga kehidupan yang efektif bisa perlahan-lahan
kamu rasakan nanti.
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Terapi
realitas tampaknya amat cocok bagi intervensi-intervensi singkat dalam
situasi-situasi konseling krisis dab bagi penanganan para remaja dan orangorang
dewasa penghuni lembaga-lembaga untuk tingkah laku kriminal. Keuntungan-keuntungan
yang diperoleh dari terapi realitas tampaknya adalah jangka waktu terapinya
yang relatif pendek dab berurusan dengan masalahmasalah tingkah laku sadar.
Salah satu kekurangan terapi realitas adalah tidak memberikan penerangan atau
penekanan yang cukup pada dinamika-dinamika tak sadar dan pada masa lampau
individu sebagai salah satu determinan dari tingkah lakunya sekarang. Glasser
disatu pihak tampaknya menrima peran masa lampau dan ketidaksadaran sebagai
faktor-faktor kausal dari tingkah laku sekarang, di lain pihak dia menolaknilai
faktor-faktor tersebut dalam memodifikasi tingkah laku sekarang. Sebagaimana
dinyatakan oleh Glasser “ tentunya para orang tua, seperti setiap orang
lainnya, memiliki alasan-alasan yang mungkin tidak disadari untuk bertindak
dengan cara yang mereka jalankan.
3.2. Saran
Setelah
mempelajari mengenai Terapi Realitas, diharapkan kita yang merupakan
calon-calon seorang konselor dapat memiliki wawasan yang luas. Sehingga dalam
pelaksanaan bimbingan konseling kita bisa menjalankan tugas sesuai dengan
teknik-teknik yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Corey,
G. Theory and Pratice of Counseling and Psychoterapy (Teori Dan Praktek
Konseling Psikoterapi). Terjemahan oleh E. Koeswara. Bandung : Eresco. 1988